10

5.1K 376 2
                                    

Aku melirik dan meneliti penampilan seseorang yang saat ini sedang duduk di sofa itu. Surainya berwarna cokelat gelap, sama denganku atau milik Camilla ini. Memang dilihat dari segi manapun ciri fisiknya ada kemiripan antara diriku kini dengan pria itu.

Pria yang kuamati itu, sekarang sedang terlihat serius membaca buku berukuran kecil ditangannya. Sedangkan aku menyuapkan potongan roti terakhir yang ada di hadapanku ini, mengunyahnya lalu menelannya kemudian disusul segelas susu hangat permintaanku tadi pada Anne.

Aku menyingkirkan nampan dari pangkuanku yang segera di ambil alih oleh Anne dan membawanya keluar dari kamar. Memang diriku tadi sedang malas keluar dari kamar untuk sarapan di ruang makan karena sekarang udara sedang dingin walaupun matahari sudah muncul.

Kiranya telinganya mendengar pergerakan Anne keluar dari kamar membuat pria yang terduduk tenang itu mengangkat kepala, beralih dari buku mini yang dipegangnya dan menatapku.

Dia tersenyum dan berdiri hendak berjalan menghampiriku yang duduk di atas ranjang. "Aku yang baru tahu, atau memang selama di rumah ini kau selalu membawa sarapanmu ke dalam kamar?" selidiknya. "Hmm... padahal setahuku kau tidak suka membawa makanan ke dalam kamar karena itu terlihat seperti babi pemalas. Apa kau sekarang berubah menjadi itu?" lanjutnya diiringi kekehan ringan.

Aku mencebikkan bibir. Kenapa perumpamaannya adalah babi? Itu terlalu buruk. Padahal di duniaku dulu aku sering membawa piring makananku ke dalam kamar, karena tempat ternyaman adalah kamar. Aku jadi ingin meringis geli membayangkan bahwa aku adalah babi pemalas, huh!

"Aku sudah menarik ucapanku yang itu. Jadi siapa kau ingin mempermasalahkannya, hah?" ketusku. Ia sekarang berdiri di sisi ranjang lalu berpose angkuh dengan kedua tangan dilipat di depan dada lalu tertawa sampai kepalanya terdongak.

"Dasar, babi yang jahat! Kenapa kau sekarang jadi suka emosi adikku tersayang!" serunya lalu mengacak rambutku dengan kedua tangannya. Segera kutepis kasar, sang biang malah kembali tertawa.

"Oh ya ampun! Kenapa aku dulu membolehkanmu menikah dengan Derren. Seharusnya kau tetap dirumah saja, jadi aku bisa mengusilimu setiap hari, Camilla!" ucapnya lagi.

Sudah kutebak bahwa Camilla dengan pria ini memiliki hubungan dekat. Karena ciri fisiknya memang sangat mirip denganku, seperti warna mata, rambut ataupun garis wajahnya. Mereka adalah saudara.

"Oh ya, hmm. Dimana suamimu itu? Apa kalian sedang dalam situasi sulit? Hmm, apa kalian sedang tidak bertegur sapa jadi sekarang kau memilih sarapan di kamarmu? tanyanya serius.

Sebelum aku membuka mulut untuk menjawabnya sudah lebih dulu dia melabjutkan kalimatnya. "Baguslah! Jangan baikan kalau begitu, lalu pulang ke rumah bersamaku saja!" ujarnya. Aku memutar bola mataku malas.

Mengerjap cepat dan spontan bangun berdiri, aku baru mengingat sesuatu. Aku ingat Derren, pria itu semalam demam. Tapi tadi saat kembali ke kamar aku malah lupa memberi tahu Anne untuk memanggilkan Tuan Arnold agar bisa segera memeriksa keadaannya.

"Ada apa, Camilla?" tanya heran pria bersurai cokelat itu.

Aku tidak menjawabnya, lalu segera melompat turun dari atas ranjang dan melangkah keluar dari kamar. Kakiku melangkah menyusuri lorong untuk segera sampai di kamar Derren. Sedangkan saudaraku itu mengoriku tanpa bertanya apa pun lagi.

Aku mengetuk pintu berwarna alami kayu di depanku ini. Tidak ada sahutan balik, jadi aku langsung membuka pintu itu tanpa permisi lagi.

"Ada apa sebenarnya?" Kali ini pria di belakangku itu kembali bertanya. Mataku mengedar ke sekeliling ruangan ini. Kosong, tidak ada manusia disini.

"Dimana Derren?" tanyaku pada diri sendiri. Aku menoleh ke belakang menatap pria yang lebih tinggi dariku itu, dia menggelengkan kepalanya.

Jadi, akhirnya aku keluar dari kamar itu. Mengitari setiap ruangan di kediaman Sang Duke ini, di ruang makan, ruang kerjanya bahkan dapur, perpustakaan  sudah ku datangi tapi nihil.

Mataku berbinar saat melihat seseorang yang sedang berjalan ke arah depan beberapa meter dari renoatku kini. "Hugo!" seruku.

Pria yang ku panggil namanya itu menoleh lalu segera menghampiriku. Aku menghembuskan napas lelah. Berjalan mengitari rumah yang seharusnya tadi aku menggunakan sepeda saja saat mencari keberadaan Derren itu membuat sarapanku di perut habis terkuras untuk dijadikan energi.

"Ya, Duchess! Adakah yang perlu saya bantu?" tanyannya sembari menunduk hormat.

"Oh, Tuan Austin, Anda disini?! Apa Anda mencari Duke Derren?" tanya Hugo. Aku ikut menatap pria di sampingku ini, dia tersenyum hendak menanggapi tangan kanan Derren itu.

"Ya, kami sedang mecarinya! Dimana dia?!" Aku menyela. Sebenarnya itu tidak sopan tapi aku sudah sangat penasaran dimana Derren saat ini.

***

Sekarang diriku malah tidak bisa berkutik karena di hadapanku kini banyak pria yang tidak memakai pakaian atasnya, sedang berlatih dengan pedang yang mereka bawa. Termasuk Derren, pria itu juga sama, dia sedang adu tanding bersama entah siapa itu menggunakan pedangnya dengan brutal. Gerakannya sangat cepat!

Sepertinya tempat ini adalah lapangan untuk latihan Derren dengan para bawahannya.

Apa di dunia novel seperti ini semua tokohnya selalu rupawan dengan fisik yang selalu memukau? Aku meringis. "Kok bisaa gitu?"

Aku menolehkan kepalaku kebelakang. Pria yang mengekoriku sejak dari kamar tidak ada, entah pergi kemana dan kapan perginya aku tidak tahu. Namun sekarang aku malah gugup sendiri, bingung. "Apa aku harus menemui Derren sekarang, atau kuundur nanti saja?"

Menelan ludah. Aku baru menyadari jika aku satu-satunya wanita di tempat ini.

Mataku mencari keberadaan Hugo ingin berpesan padanya jika aku mencari Tuannya itu dan ingin menemuinya. Namun Hugo ternyata malah sedang adu pedang dengan saudaraku yang tiba-tiba hilang itu.

Aku berpikir sambil memandang ketampanan para tokoh yang sudah dibuat oleh penulis My Charlotte ini. Aku tidak akan melewatkan bagian ini!

Selesai berpikir dan aku akan memutuskan untuk menemui Derren sekarang saja. Bagaimana jika demam pria itu semakin parah jika tidak diobati? Bahkan sekarang dia malah beraktifitas seperti manusia yang paling sehat.

Mengangkat sedikit gaun dengan kedua tangan agar memudahkanku melangkah menghampiri suami orang itu. Namun belum satu langkah diriku dikejutkan dengan suara berat seseorang menginterupsiku.

"Tetap disana!" Dia Derren. Alisnya menukik dan tatapannya nyalang ke arahku. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan siapa yang diteriakinya itu. Lalu jariku menunjuk diriku sendiri dan menatap sang empu untuk meminta jawaban.

"Kenapa kau kesini?!" Intonasinya masih sama. Kenapa dia tidak bisa berbicara santai? Apa harus sewot seperti ini?!

"Aku mencarimu dari tadi," jawabku. Sekarang malah tanganku ditarik mengikuti langkahnya pergi dari tempat latihan ini.

Aku membisu. Sambil mencuri pandang ke arah sampingku. Lihatlah perutnya! Ada berapa kotak di sana? Enam? Tujuh? Atau delapan? Diriku jadi salah fokus, "mana ada otot perut berjumlah ganjil?!"

"Kenapa kau berani ke tempat itu sendiri?!" Mataku beralih padanya yang kelihatannya kesal padaku. Tapi, apakah salahku disini sebenarnya?

Langkah kami terhenti dilorong dekat ruang kerjanya.

"Kenapa? Apa jika ketempat itu harus bersama seseorang?" tanyaku balik. Kelihatannya dia geram kepadaku, tapi tolong seseorang beritahu apa kesalahanku disini?!

"Hmm, tadi aku kesana bersama seseorang dan diantar oleh Hugo," terangku tanpa ditanya.

"Apa? Siapa?"

"Saudaraku."

"Oh, lalu apa alasan kau mencariku sampai kesana?" tanyanya.

"Sebentar," jawabku. Aku berjinjit agar tanganku sampai untuk menyentuh dahinya. Aku meletakkannya disana dan mengerutkan kening.

Aku mendelik terkejut. Tanpa diduga pria didepanku ini melingkarkan tangannya dipinggangku kemudian menarikku agar lebih dekat dengannya.

Napasnya berhembus lembut menyapu wajahku. Mataku menatap netranya yang sepekat malam. Ia menatapku seakan ada sesuatu yang ingin disampaikannya padaku.

Namun, tiba-tiba entah angin dari mana membawa bisikan lirih ditelingaku.

"Dia milikku!"

***

Bersambung...

Duchess LouisWhere stories live. Discover now