21

3.3K 217 3
                                    

Tanganku bertopang dagu di atas bingkai jendela kereta. Mataku aktif mengikuti pergerakan setiap objek yang tertangkap oleh pandanganku yang menunjukkan keramaian jalanan utama di Kota Weelsyn.

Para perempuan di novel ini semua mengenakan gaun panjang yang sopan, berbeda sekali dengan di duniaku dulu. Dan mereka semua terlihat cantik natural walau tanpa polesan makeup. Dan setahuku memang hanya kalangan bangsawan yang terkadang terdapat polesan di wajah untuk lebih mempercantik penampilan mereka. Dan, yah, aku pun juga memakai sedikit serbuk halus mirip bedak tabur dan pewarna merah di bibirku.

Sedangkan para pria tampak lebih monoton, karena pakaian yang mereka pakai lebih sedikit modelnya. Hanya kemeja dan celana panjang dengan atribut lain yang tidak kuketahui. Tapi, berbeda lagi dengan pria yang memiliki kasta sedikit lebih tinggi dan keluarga mereka sedikit kaya. Dan penampilan mereka mencoba menyamai bangsawan kelas atas karena merasa derajat mereka lebih tinggi dari pada kelas rakyat biasa yang pekerjaannya sekedar penjual roti, tukang kayu ataupun buruh.

Sekarang pemandangan mulai terganti dengan jalanan yang lebih sepi dan banyak pohon disekitarnya, mungkin sudah keluar dari perbatasan Kota sebelumnya. Jadi aku kembali menarik kepalaku ke dalam dan merubah posisi duduk menjadi berselonjor di kursi. Namun, aku tidak sepenuhnya meluruskan kakiku karena tentu saja kursi sempit ini tidak cukup untuk menampung semua kakiku walau panjangnya tidak seberapa.

Beberapa jam lalu Anne membangunkanku pagi buta karena Tuannya itu memberi perintah padanya agar segera menyiapkan diriku untuk pulang ke Lamelia. Dan sebelum berangkat pun sedikit drama terjadi ketika Marquess Marion menginginkan agar putrinya ini tidak pulang secepatnya. Tapi, Derren dan keras kepalanya tetap akan mengajakku pulang hari ini juga karena alasan mendesak sehingga harus cepat kembali ke Lamelia.

Sedangkan pria yang beberapa minggu lalu jadi suamiku itu belum menemuiku lagi sejak tadi pagi. Padahal mulutku sudah gatal sekali ingin menanyainya mengenai hal semalam yang tidak kuketahui kelanjutannya. Terutama tentang pria albino semalam yang membuatku terkejut setengah mati tapi untungnya hanya mencabut kesadaranku, bukan nyawaku.

Pergerakan kereta yang tiba-tiba berhenti membuat diriku sedikit oleng. Dahiku mengernyit ketika kepalaku melongok keluar dari jendela dan bergumam heran, "hah, sudah sampai?"

Lalu aku menurunkan kaki dari atas kursi untuk segera keluar. Tapi, termyata Hugo sudah menyanbutku dari luar dan mengulurkan tangannya ke arahku. Aku mendengus, sebenarnya yang suamiku itu siapa?

"Dimana Derren? Kenapa tidak dia yang ke sini, Hugo?" gerutuku sambil menerima uluran tangannya.

"Anda ingin menemui Duke?" pria itu bertanya balik. Setelah melepas pegangan aku mengangguk padanya. "Ya. Di mana Derren?"

"Mungkin sedang berada di ruang kerjanya, Duchess. Anda ingin saya antar ke sana?" Pria itu menyanyaiku dengan kalem tapi dengan ekspresi datar itu sangat aneh untuk dipandang.

"Em, apa sekarang sudah lebih dari tengah hari? Aku tidak melihat Anne dari tadi, bisakah kau mengambilkan sedikit kue kering atau buah untukku? Eh tidak-tidak, tolong beritahu saja pada Anne biar dia yang membawakannya untukku. Jadi, sekarang aku akan menemui Derren sendiri," kataku.

Aku mengamati ekspresinya yang hanya datar saja sedari tadi membuatku merasa bersalah sudah menyuruhnya melakukan permintaanku yang konyol. Tapi, aku benar merasa lapar sekarang karena pagi tadi hanya makan sedikit roti dan sayangnya tidak ada jam makan siang di sini membuatku meringis.

"Baik, Duchess." Jawabannya singkatnya malah membuat nyaliku menciut. "Apa kau benar-benar ikhlas, Hugo? Em, aku akan mencari Anne sendiri saja kalau begitu."

"Tidak perlu, Duchess. Saya akan pergi sekarang."

***

Setelah sampai di depan pintu yang kutuju, tanganku langsung memegang gagang pintu dan segera masuk tanpa permisi. "Derren?"

Duchess LouisWhere stories live. Discover now