PART 11

11.6K 1.1K 1.1K
                                    

Revisi setelah end

Feren merogoh sakunya. Hendak mengeluarkan sesuatu. Jose di meja seberang menunggu penasaran. Tapi, mendadak handphone Feren yang berada di atas meja berdering. Dan di sana tertera panggilan dari Mbok Enik, pembantu di rumahnya. Refleks Feren langsung mengambil benda persegi itu. menggeser ikon berwarna hijau, tanda menerima panggilan. “Iya. Hallo, Mbok. Ada apa?”

Seperti di hari itu. Suara Mbok Enik kali ini terdengar panik. “Tuan kambuh, Neng. Tuan kambuh lagi.”

“Hubungi Dokter Dirly sekarang, Mbok!” jawab feren cepat. Dokter Dirly adalah dokter yang memang selama ini mengawasi kesehatan papinya.

“Udah, Neng. Udah mbok telepon. Sekarang sedang di perjalanan menuju ke sini. Mbok beneran panik. Nyonya juga gak ada di rumah.”

“Gak usah sebut nenek sihir itu! Aku pulang sekarang, Mbok.” Feren menutup panggilan. Setelah itu ia lantas berkemas. Belum sempat ia sedu minuman yang ada di atas meja. “Jo, maaf banget ya. Papi gue kambuh lagi. Gue harus balik sekarang. Nanti baru kita lanjut ngobrolnya. Gue beneran minta maaf.” Feren nampak panik.

“Iya. Gak apa-apa kok. Lo seharusnya emang ada di sana.” Jose mencoba mengerti keadaan Feren saat ini.

Feren kemudian menarik jaketnya yang tergantung di punggung kursi. Merogoh kunci motor dari saku jaket dan pergi meninggalkan Jose. Adapun Jose masih di sana. Menikmati secangkir ice drink sembari melempar pandangan keluar. Melihat kendaraan yang berlalu lalang di jalan. Di kepalanya sekarang sama sekali tidak terpikirkan mengenai ujian yang tidak lama lagi akan berlangsung. Melainkan kepalanya isinya tentang Aime. Jose tidak akan tenang sebelum mendapatkan jawaban. Satu yang Jose butuhkan sekarang, yaitu petunjuk.

Flashback

“Kamu pasti bisa menang, Jo. Aku yakin. Aku percaya kemampuan kamu,” ucap Aime. Rambutnya tertiup-tiup angin. Cuaca siang kali ini lumayan terik.

Jose menimbang-nimbang. Di tangannya masih memegangi brosur pendaftaran turnament catur yang diberikan Pak Adit tadi selaku guru olahraga mereka. Sepekan lagi akan diadakan sebuah turnament catur antar sekolah. Dan Jose diminta untuk mejadi perwakilan SMA Cendekia Permata. “Tapi kepercayaan diriku belum balik total. Kekalahan di turnament sebelumnya bener-bener bikin aku down.” Balas Jose menyesali kekalahannya sebelumnya. Di turnament itu ia hanya membawa pulang gelar sebagai juara ke empat. Ia gugur pada saat semi final.

“Kalah menang itu biasa, Jo. Bukannya baru kali ini ya kamu dapat hasil seperti itu? sebelum-sebelumnya 'kan kamu selalu jadi yang terbaik. Juara empat pun bagi aku yang bodoh ini dan itu, udah bersyukur banget.”

“Kamu gak bodoh!” Jose menatap Aime, menekan pada kata bodoh. Dia tidak suka kalimat itu terlontar dari gadis berambut panjang di hadapannya itu.

“Hehe iya. 'Kan aku hanya bilang. Sebagai perbandingan aja.”

“Sama aja. Aku gak suka kamu ngomong gitu.”

“Iya deh iya. Maaf.” Aime menyesali ucapannya. “Gimana kalau kamu lanjut ajarin aku main catur.”

“Nah bisa.” Jose bangkit dari tempat duduknya. Minyampan secara sembarang brosur yang dipeganginya tadi. Dan mengeluarkan papan catur dari tumpukan kardus dari atas meja yang disusun berantakan di samping tempat mereka duduk. Di sana Jose menyimpannya.

Papan catur pun digelar. Aime memperhatikan dengan saksama. “Kamu masih ingat dengan fungsi dan cara kerja setiap bidak ini 'kan?” tanya Jose.

Aime angguk-angguk. Jose kemudian melanjutkan. “Setelah masing-masing pemain dalam posisi siap seperti ini, maka ada yang namanya opening. Yaitu langkah yang dilakukan saat fase permainan awal catur. Opening ini dimulai dari yang pemain dengan bidak berwarna putih.” Jose memberi contoh. Dia kemudian menggerakkan satu pion untuk maju dua kotak. “Masing-masing pemain bebas menempatkan bidak yang mana saja dalam posisi yang menguntungkan.” Jose menatap Aime. Memastikan lawan bicaranya itu paham dengan penjelasannya. “Sekarang giliran kamu. Coba deh gerakin satu bidak milikmu.”

“Owh gitu. Ok. Paham-paham.” Aime pun mencoba mempraktekan. Pion miliknya ia geser maju satu kotak.

Mereka terus latihan bermain catur sambil sesekali mengobrol dan bercanda hingga terdengar bel panjang masuk kelas. Rooftop ini menjadi tempat favorit Aime. Dan pada beberapa keadaan ia ditemani oleh Feren atau Jose.

Makin hari keakraban keduanya semakin terjalin. Semakin banyak hal yang mereka bahas. Semakin banyak yang mereka ceritakan. Feren lebih sering menceritakan soal keluarganya. Mami papinya terlalu banyak memberikan tuntutan kepadanya. Seperti sehari sebelumnya, ia diminta orang tuanya untuk ikut les bahasa Prancis. Padahal sudah jelas jadwalnya sekarang cukup padat. Aime hanya punya sedikit waktu untuk istirahat. Semua dihabiskan untuk berpindah dari satu les ke les yang lain. Dari satu kursus ke kursus yang lain. Orang tuanya berharap dengan begitu, Aime akan menjadi juara di kelasnya. Sebuah ambisi besar dari orang tuanya. Namun sekeras apapun Aime belajar, tetap saja ia tidak mampu bersaing dengan teman-teman sekelasnya. Sejak kecil Aime selalu tertinggal. Karena itulah, sehingga Aime memilih menjadi anak yang pendiam dan kurang bergaul dengan sekitarnya.

Adapun Jose, berbanding terbalik. Ia lebih banyak bercerita soal hobinya bermain catur. Untuk keluarga, sesekali ia ceritakan. Namun tidak seperti Aime, Jose justru memiliki keluarga yang harmonis. Ia sangat didukung dalam mengembangkan hobi bermain caturnya itu. 

***

Jose tersadar dari lamunannya. Dilihatnya jam digital yang tertempel manis di dinding kafe. Pukul 22.00. Sudah cukup larut. Saatnya pulang. Ia kemudian berkemas dan hendak pulang. Jose menyusuri jalanan yang tadi ia lewati. Kira-kira ia hanya perlu melewati tiga belokan untuk sampai di rumahnya. Namun pada saat ia hendak melintasi jalan raya. Mendadak kepala pusing. Sakit itu kembali muncul. Setelah kecelakaan di hari itu, Jose memang sering mengidap sakit kepala dan pusing yang tiba-tiba. Jalanan di sekitar sini mulai sepi. Hanya ada satu dua kendaraan yang melintas. Jose berjalan dengan sempoyongan sembari memegangi kepalanya.

Potongan-potongan kejadian di malam itu seolah menghantam-hantam kepalanya dengan keras. Jose berusaha bertahan. Di tempat ini tepatnya, ia tertabrak sebulan yang lalu. Di pembatas jalan yang di seberang sana kepalanya terbentur. Jose menutup matanya. Kejadian itu seperti tereka ulang di dalam ingatannya. Di mana sebuah motor berwarna hitam mengempaskan tubuhnya.  Membuatnya terlempar cukup jauh. Sosok berjaket warna gelap dengan helm yang menutupi kepala itu sempat turun dari motor, namun kemudian pergi setelah melihat Jose yang berlumuran darah.

“Abaang … abang!” Sayup-sayup terdengar ditelinganya suara teriakan diiringi tangisan Nandi, adiknya yang bersamanya keluar di malam itu.

Jose menggeleng-gelengkan kepala agar kesadarannya kembali ke masa sekarang. Namun Jose tidak tahan lagi dengan nyeri di kepalanya. Badanyya mulai oleng. Sekitarnya menjadi gelap.

***

Hallooo ....
Gimana kabar kalian nih?

Maaf ya beberapa hari gak update hehe. Kalian kangen ama Jose dan kawan-kawan gak?

Jangan lupa vote dan comment yaaa.

Ditunggu kelanjutan ceritanya.🥳

THE BLOCKADE (TERBIT)Where stories live. Discover now