PART 15

9.8K 1.1K 1.1K
                                    

Revisi setelah end

“Yang sabar ya, Pak. Emang gitu ngadepin anak-anak. Pasti ada aja yang nakal dan susah diatur.” Bu Wanda mendekati Pak Adit di samping mejanya. Beliau juga seorang guru, wali kelas dua belas. Bisa dibilang guru senior di sekolah ini.

“Iya, Bu. Gak ada pilihan lain juga kan selain sabar. Semoga bisa melanjutkan amanah yang udah diberikan Madam Reva kepada saya,” jawab Pak Adit.

“Ngomong-ngomong, gimana pandangan Pak Adit sendiri soal perubahan aturan ujian yang dikeluarkan kepala sekolah?”

“Soal itu saya tidak ada komentar, Bu. Sebagai bawahan seperti saya, sudah seharusnya patuh saja dengan keputusan atasan.” Pak Adit membuka laptopnya. Menunjukan gestur tidak suka dengan obrolan seperti itu.

“Owh ya sudah kalau begitu. Pak Adit ini sepertinya memang orangnya tipe yang patuh-patuh aja. Pantes kepala sekolah lumayan dekat.” Bu Wanda pergi meninggalkan Pak Adit. Tidak suka dengan respon jawaban Pak Adit yang tidak sesuai dengan yang ia harapkan. Bu Wanda sendiri sangat tidak suka dengan perubahan aturan, karena akan menambah pekerjaan mereka selaku wali kelas.

Pak Adit hanya geleng-geleng kepala dengan tuduhan yang dilemparkan Bu Wanda barusan.

***

Jose kembali ke kelas. Di sana sudah ada Sam dan dua temannya. Yang datang lebih dulu. Siswa yang lainnya juga sudah ada di sana. Termasuk Bricia yang langsung mendekati Jose. “Jo, kamu gak kenapa-kenapa 'kan?” tanya Bricia.

“Emangnya gue abis ngapain? Gue hanya dari kantor kok,” jawab Jose tidak begitu peduli. Ia lantas menuju tempat duduknya. Sebentar lagi jam istirahat. Jose membuka HP-nya. Ia baru teringat akan pesan dari Feren yang belum ia baca. Setelah membaca pesan itu, Jose melirik jam tangannya. Masih ada waktu. Jose bangkit lagi dan keluar dari dalam kelas.

***

“Udah lama?” tanya Jose setelah tiba di kafe yang sesuai perjanjian mereka. Ia masih berseragam sekolah. Di sana telah duduk Feren dengan gelas berisi es jeruk yang tinggal setengah.

“Lumayan,” jawab Feren. “Duduk, Jo! Pesen minum sekalian ya.”

“Jangan. Jangan. Gak usah. Gue juga gak lama kok,” tahan Jose sebelum Feren memanggil pelayan.

“Ya udah kalau begitu.” Feren menyeruput lagi es jeruknya.

“Ada info apa soal Aime?”

“Jadi gini, tapi sebelumnya lo udah pernah denger 'kan kalau HP Aime hilang. Tidak ditemukan di TKP.”

Jose mengangguk. Berita itu sudah ia dengar.

“Nah, tadi pagi sepulang dari rumah sakit, gue ngechat ke nomor Aime. Udah jadi kebiasaan gue buat curhat ke dia bahkan setelah perginya. Gue hanya bisa ngirim pesan ke nomornya aja tanpa menunggu lagi balasan.”

Jose menyimak.

“Dan lo tau apa yang terjadi berikutnya? Whatsapp Aime online. Pesan yang gue kirim terbaca. Nih, lo liat pesan dari sini ke sini udah centang biru.” Feren menunjukan room chatnya bersama Aime. Ia scroll dari bawah ke atas. “Bahkan gue udah nyoba buat call. Tiga panggilan tidak dijawab. Di panggilan ke empat panggilan terhubung  tapi tidak ada yang bicara.”

“Berarti HP Aime ada yang pegang dong,” komentar Jose.

“Nah, itu jelas. Gue yakin dia adalah pelaku. Di malam itu sebelum Aime meninggal, gue masih sempat chattingan. Aime masuk ke dalam gedung sekolah masih dengan HP. Jadi, gue yakin Aime tidak bunuh diri melainkan ada yang bunuh. Buktinya HP-nya raib,” jelas Feren.

“Bentar-bentar. Kok lo tau kalau di malam kejadian Aime ke sekolah megang HP?” Jose mengerutkan dahi. Menatap Feren penuh curiga.

“Hmm, gimana ya ngomongnya. Tapi lo jangan mikir aneh-aneh dulu ya.”

Jose mangangguk.

“Jujur di malam itu gue juga ada di sekolah. Gue ngebuntutin Aime. Karena gue ngerasa ada yang aneh. Kenapa Aime datang ke sekolah malam-malam. Padahal lo tau sendiri 'kan Aime anaknya gak suka banget keluar rumah kalau gak ada urusan penting.”

“Jadi lo tau kalau sejak malam Aime udah meninggal?”

Feren menarik napas untuk menceritakan kejadian di malam itu agar Jose tidak salah paham. “Ini belum pernah gue buka ke siapa pun. Kalau di malam itu gue juga ada di sekolah. Pada pagi harinya Aime datang ke sekolah dalam keadaan menangis. Tapi dia belum sempat menceritakan kenapa ia sampai menangis. Biasanya Aime akan bercerita kalau sudah lega. Namun sampai malam gue nunggu pesan dari Aime tidak kunjung datang. Dan setelah gue cek profil WA-nya hilang. Beberapa kali ia akif dan nonaktifkan data. Sehingga pesan gue centang satu dalam beberapa waktu. Gue mikirnya diblok Aime. Gue ngerasa ada yang aneh, Aime tidak seperti biasanya. Gue langsung meluncur ke rumahnya. Dan gue dapati ia bersama mobil pribadinya keluar dari pekarangan rumah. Refleks gue pun menyusul. Ternyata mobil itu ke arah sekolah. Aime diturunkan di depan minimarket sana.” Feren menunjuk minimarket yang ia maksud. Yang terlihat dari posisi mereka duduk sekarang. “Mobilnya pergi. Aime berjalan kaki menuju sekolah. Gue membuntuti dari belakang. Gue sempat berhenti di dekat gerbang, karena pembantu gue tiba-tiba nelpon buat ngabarin kalau penyakit bokap gue kambuh. Namun sebelum pulang, gue ngeliat kalau di rooftop ada seseorang. Tapi itu bukan Aime. Gue gak lihat begitu jelas. Yang gue yakin itu seorang siswi. Karena penasaran dan takut ada apa-apa, gue pun ke atas sana. Naik ke rooftop. Sesampainya di rooftop sudah tidak ada siapa-siapa termasuk Aime. Gue turun lagi dan gak nemuin Aime atau siapa pun yang tadi gue lihat di rooftop. Setelah itu gue cepat-cepat pulang karena bokap gue yang makin kambuh. Dan alangkah kagetnya, keesokan harinya gue dapat kabar kalau Aime sudah meninggal.”

Jose menyimak cerita Feren itu dengan serius. Matanya tidak sempat berkedip.

“Tapi saat di rooftop gue nemuin ini.” Feren merogoh sesuatu di jaketnya. Dan mengeluarkan sebuah pin berbentuk potongan hati.

Jose meraih pin itu. Melihatnya lekat-lekat. Sepertinya ia pernah melihat pin seperti ini sebelumnya. Jose kemudian teringat sesuatu. Pin ini sama persis dengan milik Bricia. Yang ia lihat ketika Bricia membongkar isi tasnya saat di kafe bersamanya setelah mereka lunch waktu itu.

“Lo pernah lihat pin ini gak? Atau yang serupa dengan pin kayak gini? Gue yakin ini pasti milik si pembunuh. Bisa jadi juga kalau adalah orang yang sama dengan yang megang HP Aime sekarang.”

Jose masih terdiam. Ia memeriksa setiap detail dari pin itu. Bentuknya, ukirannya, warnanya, benar-benar sama persis dengan milik Bricia.

“Jo, lo pernah lihat pin itu sebelumnya gak?”

Jose menggelengkan kepala. “Gue baru lihat pin kayak gini,” jawab Jose setelahnya.

***

Halloo, apa kabar kalian?
Semoga baik-baik aja ya.

Maaf lama gak up hehe.
Gimana ceritanya? Makin seru?

Jangan lupa vote dan comment ya.🥳

Ditunggu part lanjutannya.

THE BLOCKADE (TERBIT)Where stories live. Discover now