PART 17

9.8K 1.2K 1.1K
                                    

Revisi setelah end

Jose dan Bricia berjalan bersisian. Di tangan masing-masing memegang es krim. Jose lebih memilih rasa cokelat dibanding rasa stroberi yang ditawarkan Bricia tadi. Mereka baru saja makan siang di restoran yang tidak jauh dari tempat kursus Jose, di tempat lunch pertama mereka waktu itu. Bricia mengajak makan es krim di taman dengan dalih mencari angin katanya. Padahal tujuan utamanya agar ia bisa berlama-lama dengan Jose.

“Jo, ke sana yuk.” Bricia menunjuk sebuah kursi panjang di bawah pohon ketapang di sudut taman. “Sambil makan es krim di sana kayaknya seru.”

Jose mengikut saja. Mengekor Bricia yang cepat-cepat ke sana.

“Kamu ada jadwal turnamen lagi gak?” Seperti biasa, Bricia mulai mencari topik agar obrolannya dengan Jose semakin panjang. Dan juga agar kedekatan mereka terasa semakin intens. Angin meniup-niup rambut Bricia yang hanya sebahu itu.

“Ada. Dalam waktu dekat.” Jose ikut duduk di samping Bricia. Satu alasan kenapa siang ini ia meladeni permintaan Bricia, adalah agar ia bisa mencari tahu lebih lanjut soal pin berbentuk hati, yang pernah ia lihat di tas Bricia.

“Semoga menang ya, Jo. Aku selalu ngedukung kamu kok. Aku yakin, kamu akan harum namanya di dunia catur.”

Jose memperbaiki posisi duduk. Sedikit menyerong agar bisa melihat sorot mata Bricia. “Bris, gue eh aku maksudnya. Boleh gak nanya sesuatu?” Ia tatap lekat-lekat sepasang bola mata yang agak kebiruan itu. Bricia memiliki darah Finlandia dari ayahnya.

Dari tempat duduknya Bricia tersipu saat menyadari kalau Jose memandanginya begitu lekat. Apalagi saat sorot mata Jose tepat menatap matanya. Dengan gerakan kikuk ia perbaiki anak rambutnya di dekat telinga. “Hmm secepat itu kah, Jo?” Bukannya menjawab, Bricia malah bertanya balik.

“Maksud kamu?”

“Hehe maaf-maaf. Lanjut Jo, kamu mau ngomong apa? Aku udah siap kok buat dengerin?”

Jose mengerutkan dahi melihat Bricia yang bertingkah aneh seperti itu. “Aku mau nanya soal Aime.” Lanjut Jose.

Air muka Bricia langsung berubah saat mendengar nama Aime disebut. Padahal tadinya ia seolah sedang berada di taman syurga penuh bunga-bunga, mendadak pindah ke tanah tandus nan gersang. Bricia menghembuskan napas kesal. Bahkan dalam keadaan berduaan seperti ini, Jose masih saja menyebut nama Aime.

“Kamu kenapa?” tanya Jose melihat Bricia yang bukannya menjawab tetapi diam saja.

“Mau nanya apa soal Aime?” Bricia bertanya balik dengan nada ketus.

“Di hari kejadian waktu itu, apa Aime nunjuikin gerak-gerik mencurigakan? Maksudnya siapa tahu kamu sempat ngeliat Aime nunjukin tanda-tanda kalau dia mau bunuh diri,” tanya Jose, berusaha menggunakan kalimat yang mudah dipahami Bricia dan tidak menyinggungnya. Ia sadar kalau Bricia tidak suka jika dia menyebut nama Aime.

“Emang aku kurang kerjaan ya? Ngikutin gerak-gerik Aime? Lagian juga aku gak punya urusan ama dia. Jadi kayaknya kamu salah orang deh nanya ke aku.” Bricia lantas menarik tasnya. Melempar es krim yang baru dicicipi setengahnya ke tong sampah di samping pohon. Lantas pergi meninggalkan Jose. “Aku duluan.”

“Bris! Bricia!” panggil Jose. Namun tidak dipedulikan oleh si pemilik nama. Tidak jauh dari sana supir pribadi Bricia, Pak Bagas sudah menunggu dengan mobil marcedes hitamnya. Jose hanya bisa membuang napas pasrah. Lagi-lagi ia gagal menggali info. Belum juga ia bertanya soal pin. 

***

Bricia menghentak-hentakan kaki di lantai mobil. Ia buka kaca jendela lebar-lebar agar bisa melempar pandang ke luar. Melihat jalanan siang ini yang padatnya minta ampun.

THE BLOCKADE (TERBIT)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum