Chapter 4

1K 19 0
                                    


.

.

.

.

Shaira merasa tulang-tulangnya terlepas. Tubuhnya terasa remuk. Ia mengerjap berkali-kali untuk menyesuaikan penglihatannya yang agak buram. Semuanya terasa berputar ketika ia mencoba membuka penuh matanya.

Shaira tidak tahu pukul berapa sekarang. Ia hanya tahu jika di luar tengah hujan lebat. Ia mendengar suara air mengatup-ngatup menerpa atap rumah. Semesta seakan ikut bersedih karenanya. Shaira ingin melupakan kejadian buruk yang menimpanya. Akan tetapi kejadian itu berputar seperti kaset rusak dalam kepalanya.

"Riftan," lirih Shaira.

Wanita itu merindukan putranya. Biasanya setiap kali membuka mata, Riftan selalu berada di depannya. Namun, sekarang semuanya terasa kosong. Shaira kembali menjatuhkan air matanya meski matanya sudah teramat sembab.

Shaira mencoba mendudukkan tubuhnya yang rapuh. Ia sadar dirinya masih berada di ruang tamu, tertidur di atas sofa lusuhnya dengan jas yang menutupi tubuh telanjangnya. Ia menatap tubuhnya yang dipenuhi bercak merah. Dada,  perut, bahkan di area pahanya terdapat tanda menjijikkan yang Nicholas tinggalkan.

Ia terisak mendapati bukti pemerkosaannya terpampang nyata di atas sofa. Bercak darah yang sudah mengering itu menjadi bukti ia sudah tidak suci lagi.  Shaira membersihkannya,  lalu memungut pakaiannya yang berserakan di lantai dengan kondisi mengenaskan.

"Ya Tuhan, aku sudah ikhlaskan segalanya, Tuhan. Meski ujianmu terasa begitu berat bagiku, selama ini aku menerimanya. Tetapi, kali ini aku tidak bisa. Tolong bantu aku, Tuhan! Aku hanya ingin putraku kembali hiks!" raung Shaira. Tangisnya kembali pecah ketika mengingat Riftan sudah tidak lagi bersamanya. "Ku mohon! Kembalikan putraku," lirihnya.

Wanita malang itu menyeret langkahnya menuju kamar. Ia harus membersihkan diri dari jejak kebejatan Nicholas,  walaupun hal itu hanya sia-sia belaka.  Shaira tetap merasa kotor,  ia jijik pada tubuhnya sendiri yang tidak mampu menolak perlakuan pria itu.

Lebih dari pada itu, ia merasa begitu terluka, tidak cukupkah pria asing itu mengambil putranya? Hingga harus merenggut harta berharga lain miliknya yang begitu Shaira jaga?

***

Nicholas mengetatkan rahangnya ketika mendengar tangisan anak kecil yang dibawanya secara paksa semalam. Ia melonggarkan dasinya. Nicholas merasa letih hingga memutuskan pulang sore dari kantornya.

"Diamlah, Riftan!" tekan Nicholas. "Tenangkan dia,  Marry. Berikan apapun yang dia mau," lanjutnya.

"Baik,  Tuan," jawab Marry sambil mencoba menenangkan Riftan.

Nicholas memilih pergi meninggalkan Riftan yang menangis semakin keras di temani Marry. Ia belum tahu Riftan benar anaknya atau bukan. Walaupun begitu, genetiknya tidak terbuang sama sekali dalam diri anak lelaki itu.

Pria setinggi 189 cm itu menekan penyerentanya setelah tiba di ruang kerjanya yang tampak rapi.

"Tes DNA anak itu, aku mau hasilnya segera!" perintahnya,  lalu menutup sambungannya.

Nicholas mengeram ketika bayangan Shaira di bawah tubuhnya kembali memenuhi otaknya. Bagaimana bisa Nicholas tidak mampu melupakan wanita itu? Dalam keadaan yang begitu memikatnya, seksi dan menawan meski Shaira menolak sentuhannya.

Otot rahangnya kian tampak jelas kala bagian primitifnya bereaksi hanya dengan mengingat wanita malang itu. Namun,  Nicholas menekan ketertarikannya kepada tubuh menggairahkan milik Shaira. Ia menolak untuk terjerat oleh kenikmatan yang sanggup Shaira berikan padanya.

Akan tetapi,  bagi Nicholas itu hanya semu. Shaira sudah menipunya sedemikian rupa. Tampil lugu seolah tidak tahu apapun, tapi wanita itu seperti ular yang akan melilitnya jika ada kesempatan. Dan Nicholas tidak akan pernah sudi memberikan kesempatan itu pada siapapun,  termasuk Shaira Zhanafnier yang tiba-tiba menunjukkan diri dengan seorang anak laki-laki yang mirip dengannya.

'Sialan! Apa bagusnya perempuan itu' batin Nicholas mengumpat.

Ia menghirup napas dalam, merasakan aroma tubuh menggairahkan milik Shaira masih tersisa di indra penciumannya. Namun, suara ketukan pintu mengalihkan pikiran kotor Nicholas.

"Ada apa, Marry?" tanyanya ketika wanita setengah baya terlihat di ambang pintu.

"Maaf, Tuan. Tuan Kecil tidak mau memakan apapun sejak pagi. Dia terus menangis dan memanggil-manggil Mommy-nya," jelas Marry takut-takut. Bisa dia lihat raut muka tuannya itu mengeras.

Brakk!

Kini meja kerja Nicholas sudah bersih. Kertas-kertas yang tadinya memenuhi meja itu sekarang sudah berhamburan di lantai. Nicholas ingin marah, tetapi tidak bisa ia lampiaskan pada Riftan yang masih kecil. Walaupun ia juga muak mendengar tangisan anak yang belum tentu darah dagingnya itu.

Nicholas tidak pernah berhadapan dengan anak kecil selama 32 tahun hidupnya. Ia menghabiskan waktu dengan bekerja dan bermain secara dewasa di pub-pub pada malam hari. Dirinya tidak pernah dihadapkan dengan anak kecil dalam kondisi apapun.

Namun,  sekarang ia dipaksa untuk berurusan dengan Riftan, anak berusia 4 tahun yang sangat mirip dengannya waktu kecil. Nicholas menghela napasnya sebentar sebelum keluar menemui anak itu. Kendati begitu amarahnya tidak berkurang sama sekali.  Ia seolah siap menghantarkan siapapun ke neraka yang dirinya buat

Pria adonis itu melangkah angkuh menuju ruang tamu. Di sana terlihat Riftan yang duduk sambil menangis memanggil Shaira. Ia mengambil tempat duduk di sofa single dengan kaki menyilang. Memberi tahukan tanpa suara bentuk kekuasaannya.

"Diam, Riftan!" tekan Nicholas seraya mengeluarkan aura tidak ramahnya.

"Mommy, hiks! Mommy! Liftan mau Mommy! Hiks!"  racau Riftan. Anak kecil itu tidak perduli sekitarnya, yang ia inginkan hanyalah Mommy-nya, Shaira.

"Jika kau tidak diam, aku akan mengurung mu!" ancam Nicholas dengan wajah datar andalannya.
Mengintimidasi.

Riftan semakin menangis. Dia ketakutan dan tidak ada siapapun yang mau menenangkannya. Riftan butuh Mommy-nya. Shaira selalu memeluknya dengan kasih sayang yang tidak terbatas ketika dirinya menangis. Perempuan itu begitu mencintainya, tetapi sekarang ia tidak ada.

"Marry,  kurung dia!"

"Tapi,  Tuan—"

"Kurung dia, Marry!" tekan Nicholas.

Marry membuang napasnya pelan.  Dalam hati, dia merasa tidak tega,  tetapi perintah Nicholas adalah segalanya. Ia tidak mungkin membantah perintah sang tuan jika masih menginginkan bekerja lebih lama di mansion Harvey.

"Baik," jawab Marry pada akhirnya. Dia membawa Riftan menuju kamar yang ditempati anak itu semalam. Lalu, mengunci pintunya dari luar, membiarkan Riftan menangis seorang diri di dalam sana.

"Beri makan setelah dia berhenti menangis dan jangan menggangguku! Mengerti?" titah Nicholas seraya pergi menuju ruang kerjanya kembali.

Sebenarnya di dalam kepala Nicholas sudah tidak lagi memikirkan tambang minyaknya yang terbakar. Ada hal yang terasa lebih mengganggu kepalanya ketimbang kejadian kebakaran itu. Dan hal itu adalah seorang wanita—yang tidak pernah ia pikirkan selama 32 tahun hidupnya.

Namun, sekarang terasa sangat berbeda. Ia terjerat gairah bercinta dengan wanita itu. Shaira Zhanafnier, yang begitu nikmat untuk dicicipi terus-menerus, yang tidak bisa Nicholas lupakan walau hanya sedetik, yang membuatnya merasa bangga karena mampu menguasai sisi feminim wanita itu. Nicholas merasa kepuasan jiwa dan raga ketika menyatu dengan Shaira Zhanafnier yang hanya seorang pelayan.

Bersambung ...


Yang ga suka sama cerita aku, tolong banget ya ... Don't judge me, cause mental aku ga sekuat itu😭


Terjerat Gairah Tuan Harvey Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang