Chapter 5

957 16 0
                                    

.

.

.

.

.

Nicholas memijat pangkal hidungnya. Ia merasa sedikit pusing. Urusan tambang minyaknya belum juga selesai hingga membuatnya harus tinggal lebih lama di Lebanon. Di tambah jam tidurnya berkurang karena suatu alasan yang membuatnya mengumpat habis-habisan pada dirinya sendiri.

Shaira muncul secara sensual di dalam otaknya sejak ia merenggut keperawanannya. Hal itu membuatnya tidak bisa menutup mata. Nicholas menginginkan wanita itu lagi, lagi, dan lagi, tetapi egonya melambung setinggi langit. Ia menolak keinginannya sendiri, dan menolak mengakui bahwa ia tertarik secara seksual pada Shaira. Ponsel pintarnya berdering. Nama Dr. Veerzhan tertera disana. Nicholas  membawa ponsel itu ke telinganya.

"Katakan!" perintahnya seperti biasa tanpa basa-basi.

"Semoga kau selalu sehat, Harvey! Dan aku akan mati sebentar lagi. Aku ada di tengah-tengah rapat dewan direksi rumah sakit ketika asisten mu yang sialan itu datang menerobos pintu ruang rapat serta membawa rambut untuk di tes DNA, secepatnya. Dan dia menunggu di sampingku seperti lalat di tempat sampah," sungut Dr. Veerzhan di seberang.

"Harusnya kau segera melakukan yang Daniel minta, Veer. Kau tahu, aku tidak suka menunggu," cibir Nicholas dengan jari mengetuk-ngetuk meja kaca kerjanya.

"Memberiku sampel dan ingin hasilnya hari itu juga?  Asisten mu kurang waras dan kau yang memang sudah gila sepenuhnya? Tes DNA butuh waktu, Sialan!" umpat Dr. Veerzhan semakin jadi.

Nicholas mengusap dagunya dengan jari telunjuknya yang panjang. "Itu sebabnya Daniel membawanya padamu. Kau ahlinya, Veerzhan."

"Nich, berapa kali aku harus mengatakan padamu untuk setidaknya menunggu pekerjaanku selesai terlebih dahulu? Dewan direksi nyaris memecat ku setelah menyaksikan ketidaksopanan Daniel masuk ke ruang rapat tanpa permisi," cecar Veerzhan.

"Seharusnya kau jangan menyalahkan ku, Veer. Aku sudah menawarkan rumah sakit ku padamu dan kau menolaknya," jawab Nicholas angkuh.

"Keparat! Dari semua teman yang aku miliki, cuma kau yang sialan, Nicholas! Tetapi bagaimanapun keadaannya tidak ada yang bisa menolak perintahmu, 'kan? Sialan! Bahkan setelah tahu Daniel adalah suruhan mu, dewan direksi itu segera menyuruhku melakukan perintahmu! Kau manusia beruntung, Bung! Yang sialan!"

Suara Veerzhan terdengar jengkel di telinga Nicholas hingga membuatnya terkekeh. Ia tahu pasti karibnya itu tidak pernah bisa menolak perintahnya. "Aku tahu. Sekarang katakan hasilnya!"

"Aku belum puas mengumpatimu, Berengsek! Yang seharusnya kulakukan sejak kemarin. Dan kata berengsek memang sangat cocok untukmu. Wanita mana yang memiliki anak darimu,  Nicholas? Ku pikir kantongmu selalu terisi benda karet itu kemanapun kau pergi, tapi pada akhirnya kau kebobolan juga. Bagus, Nicholas! Kau luar biasa!" cebir Veerzhan.

Hening sejenak setelah cibiran Veerzhan tidak lagi terdengar. Veerzhan menghela napas pelan. Dia benar-benar tidak pernah menyangka memiliki teman seberengsek Nicholas. "Kalian cocok anak dan ayah secara biologis. Aku akan mengirimkan laporannya ke E-mail mu. Dan—"

Nicholas memutus sambungannya sepihak tidak perduli Dr. Veerzhan mengamuk di seberang sana. Ia menaruh ponselnya dengan kasar.  Seharusnya ia tidak perlu melakukan tes DNA konyol, karena sudah jelas genetiknya menurun pada Riftan. Nicholas merasa ia ayah paling buruk yang pernah ada. Sejak kemaren ia meminta Marry untuk mengurung anak itu. Sampai sekarang ia tidak tahu bagaimana keadaannya.

Menarik kasar jasnya di sandaran kursi, Nicholas menentengnya meninggalkan ruangan. Ia akan pulang lebih awal untuk menemui Riftan dan kalau bisa ia ingin meminta maaf jika tidak kesulitan.

Selama ini ia belum pernah meminta maaf. Nicholas hidup di lingkungan yang orang lain rela mengakui semua kesalahan Nicholas meski tidak diminta. Kendati begitu, ia tidak mau susah-susah menjelaskan kebenarannya,  karena baginya itu pilihan mereka. Tunduk di bawah kakinya sejak kecil.

Anggap saja jika Oscar Award menominasikan orang terburuk di dunia, Nicholas akan mendapatkan penghargaan itu. Dirinya berkuasa, tak tersentuh, panas dan sialnya berbahaya. Semua orang di dunia mengeluh-eluhkan satu-satunya kebaikan yang dimiliki pria itu, Nicholas tampan dan selebihnya adalah bencana.

Jika, ada yang berani mengusik ketenangannya maka tidak ada ketenangan untuk orang itu hingga ke neraka sekalipun. Hal itu terjadi tanpa disengaja kepada Shaira, seorang wanita yang terlalu lugu menghadapi kehidupan yang keras. Lihat saja apa yang akan Shaira dapati kedepannya.

***


Parveen beserta putranya, Gavriel, menatap prihatin pada wanita yang terpejam dengan dahi berkeringat. Shaira demam sejak kejadian buruk menimpanya itu. Mulutnya tidak pernah absen mengigaukan Riftan.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi pada kalian. Aku tidak menemukan Riftan  disini dan kau sakit, tapi tidak menghubungiku sama sekali, " sesal Parveen karena tidak tahu apapun.

"Kau selalu menanggung masalahmu sendiri. Sekarang,  aku tidak tahu bagaimana aku bisa membantumu,  Shaira."

"Aunty Shaila kenapa, Mom?" tanya Gavriel.

"Aunty sakit, Sayang. Kita rawat ya biar cepet sembuh."

"Telus Liftan mana?"

"Mommy tidak tahu, Sayang. Nanti kita bantu Aunty Shaira cari Riftan-nya ya," jawab Parveen sambil mengusap sayang kepala Gavriel yang mengangguk antusias.

Parveen menangis. Kondisi Shaira cukup memprihatinkan. Dokter bilang jika demamnya belum turun sampai besok, Shaira harus dirawat inap di rumah sakit. Dia yakin sahabatnya itu pasti sakit karena memikirkan Riftan. Dirinya tahu jika anak itu segalanya bagi Shaira.

Namun, Parveen tidak tahu kemana bocah empat tahun itu. Jika, Riftan diculik ataupun hilang itu tidaklah mungkin karena Shaira selalu bersamanya. Wanita itu tidak akan membiarkan putranya sendirian kemanapun itu tanpa penjagaan. Dialah satu-satunya orang yang dipercayai Shaira untuk menjaga Riftan jika wanita itu bekerja. Shaira juga tidak meminta bantuan untuk mencari Riftan. Kendati begitu,  Parveen malah menemukan Shaira dalam kondisi tidak stabil dan kurang sehat.

'Apa mungkin Riftan dibawa oleh seseorang yang tidak bisa Shaira lawan? Tapi siapa?' batin Parveen.

Wanita satu anak itu menghela napasnya pelan. Lalu, mengompres dahi Shaira dengan handuk basah yang dirinya siapkan tadi. Parveen mengingat-ingat orang-orang yang pernah berurusan dengan Shaira. Namun,  tidak ada yang masuk dalam kategori masalah untuk Shaira.

'Riftan?'

Sedetik kemudian mata madunya membulat. Parveen merasa tengkuknya meremang ketika dugaan terakhirnya terlintas dalam otaknya hingga menimbulkan ketakutan. "Apa ayah kandung Riftan yang membawa anak itu?" lirihnya.

Walaupun demikian, Parveen tidak pernah tahu siapa ayah biologis Riftan. Lima tahun lalu Sarah datang menemui Shaira dalam keadaan hamil. Namun, perempuan itu tidak pernah mengatakan siapa yang menanam benih di rahimnya. Parveen tahu Sarah adalah wanita yang agak nakal. Di usia 19 tahun, Sarah pernah didapati berjalan dengan lelaki dewasa oleh Shaira dan dirinya. Akan tetapi, hingga wanita itu melahirkan dan meninggal, Sarah tidak mengatakan apapun lagi. Kecuali, meminta maaf dan terima kasih.

"Shaira, semoga kau cepat sembuh. Kita akan mencari Riftan. Aku akan meminta bantuan Zarkhan," ucapnya sambil mengganti kompres.

Parveen berjanji akan menemukan Riftan dan mengembalikan keceriaan sahabatnya itu bagaimana pun caranya. Dia akan membantu Shaira sebagaimana wanita malang itu selalu membantunya dulu.

Bersambung ...

"Naruto-kun, mari tidur bersama! Tapi, Genma-jisan lebih kece aaaaaaaaa."

Gamon kok ke mantan, gamon tuh ke .... ke .... tokoh fiksi laaahh. Udah gepeng, ga nyata, mati lagi😭😭😭



Terjerat Gairah Tuan Harvey Where stories live. Discover now