Chapter 11

612 9 1
                                    

.

.

.

.

.


Shaira sudah cukup lelah untuk menangis. Wajahnya pucat lengkap dengan mata sembabnya. Ketika memutuskan untuk ke bandara beberapa jam lalu, perasaan Shaira tidaklah tenang. Dalam pesawat pribadi Nicholas, Shaira menemukan putranya tengah demam tinggi. Ia tidak bisa untuk tidak menangis mengetahui hal itu. Wanita itu merasa buruk menjadi seorang ibu. Merasa telah gagal menjaga putranya.

Entah sudah pukul berapa sekarang, Shaira tidak mengetahuinya. Namun, langit tampak sudah gelap di balik jendela pesawat. Shaira mengusap air matanya yang terus mendobrak keluar.  Sedari tadi pikiran dan hatinya sudah sangat gundah. Riftan-nya belum membuka matanya sejak ia menemuinya.

"Sayang, ini Mommy," lirihnya seraya mengusap lembut dahi Riftan yang berkeringat sambil terus mengompresnya.

Riftan merengek. Sepertinya bocah itu merespon usapan hangat Shaira. Terbukti beberapa detik kemudian, Riftan membuka matanya. Netra lautannya terlihat kuyu kala menatapnya. Shaira berusaha untuk tidak menjatuhkan air matanya kembali.

"Mo-mommy, hiks!" Tangis Riftan pecah saat mendapati Shaira berada di hadapannya. Riftan bangun dari tidurnya, lalu menghambur ke dalam pelukan hangat Shaira.

"Sssttt, ini Mommy. Jangan menangis, Sayang, nanti matanya sakit," ucap Shaira sambil mengusap lembut punggung kecil Riftan.

Riftan begitu patuh. Anak kecil itu sudah menghentikan tangisannya kala sang Mommy mendekapnya penuh kasih sayang. Dia mengusap-usap wajahnya di dada Shaira untuk membersihkan air mata dan ingusnya.

Shaira terkekeh geli melihat kebiasaan Riftan jika menangis. Ia tidak perduli bajunya akan kotor karena kelakuan Riftan.

"Mata Mommy tenapa?" tanya Riftan. Tangan kecilnya mengusap pelan mata Shaira yang memerah dan sembab.

"Mommy tidak apa-apa, Sayang," balas Shaira. Ia tersenyum kecil untuk meyakinkan Riftan-nya.

"Mommy angis? Mommy jangan angis lagi," seru Riftan.

Shaira mengelus sayang kepala Riftan. "Mommy tidak akan nangis lagi, kan sudah ada Riftan. Riftan mau makan, hm?" tanya Shaira.

Riftan mengangguk. "Liftan mau macan loti ici, Mommy."

Shaira membelai wajah kecil Riftan. "Sayang, Riftan lagi sakit. Jadi, belum boleh makan roti isi. Makan bubur dulu ya, Nak. Habis itu minum obat biar Riftan cepat sembuh," bujuk Shaira.

Riftan menggeleng. "Bubul pahit, Liftan mau loti ici."

"Iya, nanti Mommy buatkan roti isi buat Riftan. Tapi, sekarang makan bubur dulu, oke? Bubur tidak pahit, Sayang. Buktinya Mommy suka makan bubur," bujuk Shaira sekali lagi.

Riftan agak susah dibujuk. Apalagi anak berusia 4 tahun itu memang tidak suka makan bubur yang menurutnya aneh dan pahit. Namun, sekarang anak itu mau tidak mau harus memakannya. Lambungnya bermasalah, jadi harus memakan sesuatu yang lunak. Begitu informasi yang didapatkan Shaira dari seorang wanita baya bernama Marry.

"Benelan bubulnya enak?"

Shaira mengangguk saja. "Riftan tidak sadar kita lagi dimana?"

"Lagi dimana, Mom?"

"Kita lagi di pesawat, Sayang. Jadi, Mommy tidak bisa buatkan Riftan roti isi. Coba lihat! bintangnya terang sekali, 'kan?" jawab Shaira sambil menunjuk ke luar jendela pesawat.

"Woaah, kita telbang, Mommy," teriak Riftan antusias.

"Sssttt, jangan teriak, Nak. Sekarang makan buburnya, yuk!" ajak Shaira seraya menyodorkan sesendok bubur kepada Riftan. Beruntung Marry menyiapkan bubur dalam Tupperware sehingga makanan lembek itu masih terasa hangat.

Selang beberapa menit setelah Riftan menghabiskan waktu makannya dan meminum obat. Anak itu kembali merengek karena mengantuk.

"Mommy, Liftan ngantuk," kata Riftan sambil lalu menguap lebar.

Shaira hanya tersenyum, kemudian ia merengkuh tubuh mungil Riftan,  menepuk-nepuk pelan pantat anak itu agar tidur dengan nyaman.

"Selamat tidur, Sayang-nya Mommy," bisik Shaira, lalu mengecup kening Riftan sebelum dirinya ikut memejamkan matanya.

***

Sementara itu, Nicholas menatap datar layar tablet berlogo apel yang menampilkan sepasang ibu dan anak. Sejak tadi pria itu hanya mengawasi keduanya lewat papan kecil canggih itu. Nicholas tidak berniat mengganggu temu kangen keduanya. Namun, bukan berarti dirinya suka melihat kedekatan mereka.

Rahang Nicholas mengetat ketika mendapati puteranya terlihat begitu dekat dengan Shaira. Keakraban mereka membuat dirinya semakin muak pada wanita itu. Baginya Shaira hanyalah salah satu wanita jalang yang hanya mengincar hartanya dengan memanfaatkan kedekatannya bersama Riftan.

Nicholas beranjak saat mengetahui Shaira dan Riftan sudah tertidur. Ia berniat menemui Shaira dan membicarakan tentang status dan posisinya yang begitu rendah di mata Nicholas.

Pria itu menghampiri ranjang pribadi yang menjadi tempat Riftan dan Shaira memejamkan mata mereka. Riftan tampak sudah sangat pulas dalam tidurnya. Nicholas mengusap pelan kening bocah itu, rupanya demamnya sudah sedikit menurun.

Sementara Shaira, meskipun masih tampak pucat dan sembab, wajahnya terlihat damai. Walaupun emerald-nya tengah tertutup, tetapi bibirnya masihlah tersungging senyuman.

Nicholas mengambil gelas berisi air yang tinggal setengah. Ia menyemburkan air itu ke wajah Shaira. Wajah yang tadinya damai, kini terlihat mengerjap panik. Sebisa mungkin perempuan malang itu tidak berteriak kaget.

"Bangun!" desis Nicholas.

Shaira masih mengusap wajahnya yang basah. Lalu, dengan gerakan pelan melepaskan pelukan hangatnya pada Riftan. Sebisa mungkin ia tidak ingin anak itu terganggu dengan gerakannya.

"Rupanya kau memang harus diingatkan siapa dirimu," cemooh Nicholas.

Shaira hanya bisa menunduk, ia tidak berani menatap wajah Nicholas yang begitu menyeramkan baginya.

"Selain menjadi jalang ku, kau akan menjadi pengasuh Riftan.  Tetapi, aku tidak ingin lagi mendengar putraku memanggil dirimu 'Mommy'. Biasakan kau memanggilnya dengan sopan, mengerti!"

Shaira berusaha menahan air matanya. Ia mengangguk saja walaupun hatinya sakit sekali memikirkan dirinya tidak akan lagi dipanggil 'Mommy'.  Namun, itu tidaklah seberapa dibandingkan tidak merasakan esensi anak itu.

"A-apakah a-aku akan digaji?" tanya Shaira pelan. Ia tidak perduli bagaimana pandangan Nicholas padanya. Shaira butuh uang untuk membelikan Riftan mainan nanti. Meskipun hal itu tidaklah perlu mengingat ayah anak itu sangat sanggup memenuhi keinginannya, tetapi Shaira sangatlah ingin untuk terus memanjakan Riftan meski hanya dengan mainan murah seperti dulu.

"Jangan berharap aku akan membayar mahal dirimu, Wanita. Upahmu tidak lebih dari gajimu bekerja di bar," sinis Nicholas. Ia menatap jijik pada perempuan ayu itu. Dirinya semakin menilai rendah Shaira ketika perempuan itu masih bisa memikirkan bahkan menanyakan uang padanya secara terang-terangan. Semua wanita memang sama saja, yang mereka inginkan hanyalah uang.

Shaira mengangguk. "Terima kasih, Tuan."

Nicholas meninggalkan Shaira begitu saja. Walau sebenarnya ia sangat ingin menyeret wanita itu ke ranjang dan menggagahinya sampai puas. Namun, ranjang itu dipakai puteranya untuk beristirahat. Nicholas tidak mungkin memindahkan bocah itu. Lebih tidak mungkin lagi meniduri Shaira di lantai pesawat.

Seberengsek apapun dirinya. Nicholas tidak akan pernah melakukan sex di lantai pesawat atau tempat lainnya yang tidak nyaman., kecuali jika dirinya sudah berada di rumahnya. Nicholas bisa melakukan apapun yang ia mau.




Bersambung ...

Sesuai janji, up-nya hari Senin huhuhu😭

Kalau ada kesalahan, dimohon segera ditandai🥺

Terjerat Gairah Tuan Harvey Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang