Cerita 1

716 15 3
                                    

Hampir puas kami mengobrol di teras lantai dua, Bi Tuti memanggil kami dari bawah. Kami cepat bergerak sebelum ia merepet. Mengepak barang ke mobil, kemudian melaju ke tempat tujuan. Aku duduk di samping Dudi yang menyetir. Memerhatikan pinggir jalan tanpa bicara. Dudi pun nampaknya tak punya selera untuk mengobrol karena ada ibunya di kursi belakang.

"Lihat, mar, sekolah libur," tiba-tiba Dudi bersuara. "Kalau dulu sedang liburan seperti ini kita pasti rasanya bebas, tak mau kembali dan mengutuk ketika liburan berakhir." tunjuk Dudi ke sebuah bangunan hijau yang kami lewati.

"Sekarang kebalikannya, kan?" lanjutnya. Aku hanya mengangguk, tersenyum.

Tetapi, ya, aku mengutuk liburan ini. Liburan yang panjang. Yang tak akan pernah lagi dikembalikan bunyi bel di hari Senin. Mengumpulkan anak-anak yang lesu di lapangan untuk mengikuti upacara. Biasanya saat amanat pembina upacara, suara amanat tersebut kalah dengan bisik-bisik murid yang membicarakan liburan masing-masing. Terkadang bisik tersebut diredam oleh guru yang berjaga. Melewati baris demi baris murid yang kemudian berhenti bicara. Kemudian setelah mereka lewat, bisik kembali bikin ribut. Membuat pembina ngomel depan mikrofon.

Usai upacara biasanya akan ada pemeriksaan kedisiplinan. Atribut, dan khusus laki-laki tentu saja rambut. Bagi yang lolos silahkan lewat pemeriksaan. Langsung duduk di kelas atau paling tidak melenggang curi waktu ke kantin sebelum pelajaran. Bagi yang beratribut tidak lengkap, silahkan pura-pura sakit, atau pura-pura pingsan sekalian. Tidurlah di UKS sambil minum teh manis hangat. Jika tak lolos, siap saja pembinaan tambahan serta hukuman lari keliling lapangan.

Biasanya aku akan masuk kepada kelompok kedua, bagian murid yang doyan duduk di kantin. Sekadar membeli es, tau malah makan nasi uduk Mbak Lis. Tentu saja, aku tak sendiri. Dudi dan kawan-kawan sekelas lain akan ikut duduk disana. Karena agenda yang ada di kantin sekolah bukan saja makan belaka, tapi juga membual sebanyak-banyaknya. Sampai guru piket berkeliling dan menggiring kami masuk ke kelas untuk kembali mendengarkan guru.

Omong-omong soal kantin, apa ia masih sama seperti dulu, tempat aku bertemu denganmu?

...

"Kau mau taruhan?" tantang Dudi agak berteriak, menambah riuh rendahnya kantin di jam istirahat yang hampir selesai.

"Baik, kau masih simpan hasil uang magang tiga bulan kemarin, kan? Kita bertaruh saja, lima puluh-lima puluh. Aku bisa mendapatkan kontaknya." Adi menantang balik Dudi. Teman-teman lain ikut memanasi mereka. Sementara aku hanya mendengarkan pembicaraan nirfaedah ini sambil menikmati nasi uduk.

"Ya sudah, coba saja." melihat lawannya mempersilahkan, Adi menjulurkan tangan, tanda deal. Kemudian tanpa ragu berjalan ke arah Nada, perempuan yang kami bicarakan. Aku tak akan pernah punya nyali seperti itu. Aku memerhatikannya duduk di sebelah geDudbolan perempuan yang sedang makan di kantin. Jika keadaan seperti itu terjadi padaku - didekati orang yang tak kukenal di kantin, meskipun itu perempuan - mungkin aku akan mencari alasan untuk pindah tempat secepat mungkin. Tapi para perempuan terbuka, mungkin semata karena tidak tahu berhadapan dengan buaya gila duit.

"Kalian jurusan Akuntansi, kan? Kemarin magang dimana?" sayup-sayup suara Adi.

Dudi terlihat agak kesal. Entah karena Adi berhasil berkenalan dengan Nada, atau harus kehilangan lima puluh ribu, atau keduanya. Ia kelihatan cukup dongkol ketika melihat Adi dari jauh tertawa bersama teman-teman Nada. Sementara incarannya tersenyum sampai matanya yang agak sipit seolah terlihat menjadi bentuk garis. Beruntung poninya yang dipotong rata tak cukup panjang untuk menutupi matanya.

Beberapa menit kemudian, nasiku tandas, saat itu pula Adi kembali.

"Begini, Dud. Aku dapat kontak temannya."

"Lalu kontaknya Nada?"

"Tidak dapat." kami tertawa, aku ikut cengengesan bersama mereka. Tawa Dudi terlihat paling puas dari yang lain. Lima puluh ribunya selamat.

"Malah tertawa kau, Mar." tiba-tiba Adi menyalakku.

"Kenapa?"

"Bagaimana kalau kita yang bertaruh lima puluh ribu, Mar?" Adi menantangku.

"Tak ada orang yang mau dijadikan bahan taruhan, Di." jawabku, "Lagian, ikhlaskan saja lima puluh ribumu itu ke Dudi."

"Kau benar," Adi melunak, "Boro-boro mau berkenalan dengan perempuan, lihat perempuan saja kau lari." Dudi tertawa mendengar kalimat Adi.

"Iya, Mar, kudengar kau kan tidak suka perempuan." cela salah seorang teman.

"Lalu dia sukanya apa?"

"Fetish tanaman mungkin." mereka semua tertawa puas. Aku ikut tertawa bersama mereka.

"Bagaimana nanti kalau kau menikah, Mar."

"Iya, bagaimana kalau kau tak berani memegang tangan istrimu."

"Damar ini, jangankan pegang tangan istrinya, lihat daun telinga istrinya saja celananya sudah basah." mereka kemudian tertawa ribut. Beberapa anak di kantin menatapi kami yang bertingkah seperti orang gila.

"Bagaimana kalau aku bisa mendapatkan kontak Nada?" aku mulai terganggu dengan mereka.

"Berarti itu namanya keajaiban, Mar."

"Lima puluh ribu, kalian bersembilan." emosiku membuatku memakan kata-kataku sendiri.

"Serius, Mar? Sembilan kali lima, empat ratus lima puluh." Dudi terkejut.

"Tapi itu terlalu banyak, Mar. Bagaimana kalau menggombal saja? Kalau cuma kontak, orang yang omong dikit dan kosong sepertimu juga sepertinya bisa."

"Gombal seperti apa?"

"Ya, bilang dia cantik atau apalah, terserahmu"

Aku berfikir lagi. Dia benar. Sebatas minta kontak apa susahnya? Apalagi kalau dihadiahi empat ratus lima puluh ribu. Tapi aku tak bisa menggombal. Tapi uangnya sebanyak itu. Tapi mereka meledekku. Tapi mereka sudah diam dan tampaknya sudah lupa.

"Lebih baik aku taruhan bola, Mar."

"Damar kan tidak mengerti bola, tontonannya Spongebob. Pantas tak punya nilai lebih di mata perempuan."

"Sepupumu ini hanya bermodal tampang tapi bodoh, Dud."

Kesal mendorongku. Aku mengulurkan tangan, menunggu ada yang menyambutnya,

"Ayo, ada yang mau taruhan lima puluh ribu? Akan kubilang dia cantik."

Sembilan orang menyambar tanganku satu per satu, tanda jadi. Aku akan kaya. Uang hasil magangku masih ada satu juta lima ratus. Kalau aku menang taruhan ini bisa buat uangku hampir jadi dua juta. Setelahnya aku berdiri menghampiri tempat Nada.

Lagipula disamping soal uang, aku juga tak bisa tahan duduk disana. Diolok-olok dan tidak membela diriku sendiri. Salah siapa? Salah merekakah memperlakukan orang seperti trofi? Atau salahku yang membenarkan semua ini? Lagipula kurasa tak ada hubungannya tidak suka sepak bola dengan menjadi laki-laki. Dan aku tak suka Spongebob. Aku sukanya Patrick yang bodoh. Tapi aku tidak menyukai teman-temanku yang bodoh.

Setengah jalan. Aku sedang apa?

Nada dan kawan-kawannya mulai melihat ke arahku. Aku harus bilang apa? Aku tak seharusnya termakan emosi. Adi bangsat. Dudi bangsat. Dan ketujuh orang laknat. Sialan. Ini salah mereka.

"Hai, Nada?"

"Hai." mereka berhenti mengobrol, lalu melihatku. Mungkin kata 'Hai' bukanlah kata yang tepat suasanya malah canggung. Rasanya seperti presentasi tapi tidak tahu apa yang mau kau katakana karena semalam kau hanya tidur.

"Kamu sudah tahu kalau kamu cantik?"

"Bagaimana?" tanyanya balik. Aku hanya terdiam. Anjing. Masa harus kuulangi lagi?

Yang Kuharap Tidak Pernah KudengarWhere stories live. Discover now