Cerita 5

93 3 0
                                    

Nada meresponnya.

"Iya, akuntansi banyak memang tugasnya akhir minggu ini." jawab Nada atas komentarku.

"Multimedia sih, tidak begitu menumpuk. Katanya kepala jurusan kalian Pak Anwar, ya? Katanya dia baik." balasku.

"Iya, tapi kalau kasih tugas itu, lho, banyaknya minta ampun. Kalau multimedia dengar-dengar gurunya asyik dan jarang bikin tugas, ya?"

"Lebih banyak praktek dan buatku prakteknya asyik." entah bagaimana obrolan kami begitu tersambung. Sesekali aku terdiam, menimbang apakah aku akan menceritakan mimpi yang barusan kualami pada perempuan ini, sambil kuperhatikan Nenek dan Dudi berdebat tentang sinetron, tentang siapa yang lebih kurang ajar: si suami yang anaknya masih merah tapi doyan selingkuh dengan perempuan lain, ataukah perempuan penggoda yang luar biasa jahatnya menyabotase rumah tangga orang? Saat mereka berdua terdiam dari perdebatan tadi, kuputuskan untuk menunda niat memberitahu mimpi tadi. Lebih baik kujaga dulu percakapan dengan Nada agar tidak buntu. Dan semakin kutunda niat itu, malam semakin larut. Sinetron bersambung, televisi mati dengan remot yang setengah dibanting oleh Dudi yang nampaknya kesal dengan jalan cerita. Nenek dan Dudi menghilang di pintu kamarnya masing-masing. Jam sebelas malam. Aku pun sadar hari ini bukan akhir pekan. Besok subuh aku harus bersiap kembali untuk mengejar bel sekolah.

"Aku tidur dulu Nada, lumayan capek tadi siang."

"Jangan lupa berdoa, Mar."

"Biar apa?"

"Biar tidak mimpi buruk." katanya disertai emoji berbentuk tawa.

Terlambat, Nada. Mimpi itu sudah kejadian. Entah itu mimpi buruk atau baik.

                                   ...

Yang kutahu besoknya aku selalu bertukar pesan dengan Nada. Banyak yang kami ceritakan lewat pesan, tapi anehnya tak pernah tersampai secara langsung. Selalu saja aku mendadak jadi demit di matanya sehingga dia kabur tiap berpapasan denganku.

"Aku takut kelihatan temanmu, nanti kamu diledek lagi."

Dan memang, itu alasan yang paling aman mengingat aku juga sembunyi-sembunyi bertukar pesan dengan Nada. Ingin rasanya kuceritakan pada Dudi atau bahkan ke Adi si buaya sekalian agar aku tak salah-salah kirim ketika bicara dengan Nada. Tapi ingatanku membalik lagi ke saat dimana Adi terus-menerus meledekku. Langsung saja niat itu batal ketika mengingatnya.

"Bagaimana kalau telepon?" tanya Nada satu kali.

"Boleh."

Sore itu kami bertukar suara. Banyak cerita yang kami tukar lewat telepon, seperti saat salah satu teman Nada menyebutku aneh dan sombong.

"Tapi kamu jangan cerita ke dia ya, Mar."

"Tidak akan Nad, lagian sudah biasa aku dibilang begitu."

"Tapi aku awalnya aku juga mengira kamu begitu." katanya diiringi tawa kecil.

"Masa, sih?"

"Tapi habis telepon ini, sepertinya sudah tidak. Kamu baik," dia diam sebentar, "Tapi tetap rada aneh." suara tawanya kembali terdengar di seberang telepon. Dua minggu seterusnya kami menghabiskan waktu dan pulsa untuk menelpon, sore hingga menjelang tidur. Bahkan bila esoknya libur, sampai subuh kami meracau. Aman. Dudi jam-jam segitu akan sibuk dengan Nenek beserta sinetronnya dan langsung pergi tidur belaka.

Saat aku tidak mengiriminya pesan, ia akan mencari. Begitu juga sebaliknya, saat ia tidak ada aku akan mencarinya juga, dengan cara yang lebih halus, seperti mengomentari fotonya yang baru ataupun statusnya yang baru.

"Pacar kamu apa tidak marah, Mar?" ini sebenarnya cukup basi, dan aku tahu pembicaraan ini mengarah kemana. Tapi butuh waktu untuk berpikir sampai dia menegurku lagi.

"Kalau dia marah, aku tutup, ya?"

"Yang bakal marah mungkin cuma Nenek, itupun kalau aku terlalu berisik." pada akhirnya jawaban itu yang kuberikan. Dan aku merasa tak perlu bertanya balik kepadanya, taruhan yang terjadi di kantin semata karena Adi bilang perempuan itu tidak punya pacar dan kami semua mungkin tidak punya nyali buat berkenalan dengannya. Adi mungkin tidak menyangka, perempuan yang ia bilang polos dan ramah sebenarnya cukup punya inisiatif cukup cepat.

                                  ...

Aku lega memandangi pengumuman tempat duduk ujian sekolah, mengetahui Nada duduk dengan perempuan. Padahal aku tidak tahu apa yang harus kukhawatirkan bila ia duduk dengan laki-laki. Rasanya aneh, aku belum cukup menyukainya tapi rasanya agak tidak nyaman juga membayangkan dia satu meja dengan laki-laki lain.

Berbanding terbalik saat pulang sekolah di warkop, yang tidak mengutuk hanyalah aku dan Dudi. Dudi sendiri hanya duduk di pojokkan sambil mengunyah sebungkus makaroni kecil yang terbalut banyak bumbu cabai. Sementara yang lain berkali-kali mengeluh,

"Duduk dengan laki lagi." ketus Adi.

"Aku duduk sama perempuan tapi dia pacarnya si Boni, anak pemasaran." kata yang lain.

"Dari sekian banyak yang beruntung cuma Dudi sama Damar." padahal aku tak menganggapnya keberuntungan sama sekali.

"Aku tak ada niat pacaran sama adik kelas." kataku.

"Kau memang tak ada niat buat cari pacar kan, Mar?" sindir Adi. Aku hanya tertawa karena pertanyaan itu kuanggap tidak penting. Tetapi beda cerita ketika Nada yang bertanya,

"Cie, bisalah semeja dulu terus jadi pacar?" cukup lama aku terdiam mendengar Nada menggodaku karena canggung.

"Ah, apa sih?" suasana malah makin canggung ketika aku bereaksi.

"Yang satu bangku sama kamu itu adik kelasku, tahu. Kalau kau mau aku bisa titipkan salam ke dia."

"Tidak, ah."

"Dia cantik, Mar, sumpah."

Dan Nada benar. Di hari Senin pagi kudapati banyak perempuan berkumpul di mejaku dan minta permisi kecil pada mereka.

"Dina, itu tasnya ambil, malah diam." kata salah satu dari mereka.

"Oh iya, maaf, ya kak." perempuan berambut pendek yang disebut namanya itu kemudian mengambil tas abu-abunya dari mejaku, menaruh tasnya di atas kursinya. Ia kemudian membetulkan kembali kacamata hitam yang turun dan disangga kembali oleh hidung mancungnya. Ia memang cantik. Tetapi aku rasa perasaanmu selalu punya batas jelas ketika kau tahu seseorang menarik dengan ketika kau benar-benar menyukainya.

Aku bergegas ke arah Dudi yang berdiri menungguku untuk pergi sebentar ke kantin.

"Itu Dina?" tanya

"Iya, nampaknya."

"Cantik juga, Mar. Benar kata anak-anak, kau beruntung," kata Dudi, aku tak menanggapinya, "Kau harus dekati dia, Mar." lanjut Dudi.

"Tidak mau."

"Kali ini aku memaksa, pokoknya harus dekat." aku bingung. Kalau ada permintaan dari Dudi, aku paling tidak bisa menolak. Tapi ini permintaan macam apa?

                                  ...

Di hari kedua setelah aku mengobrol singkat dengannya dan sering menjadi perantaranya untuk mencontek, aku cukup bilang, "Boleh minta kontak, Din?" dan secara cuma-cuma ia memberi kontaknya. Ini cukup mudah. Andai saja aku bertaruh lagi, mungkin aku bisa mendapatkan uang saku tambahan lagi tanpa harus bolak-balik ke Senen, kelelahan, dan bermimpi aneh sepulangnya. Tapi tidak kali ini. Aku tak mau diejek lagi dan menjadikan orang jadi barang taruhan lagi.

Sementara Nada juga masih setia dalam telepon minggu-minggu itu.

"Bagaimana Dina?" suatu kali ia bertanya.

"Baik orangnya."

"Ehem, bisa tahu dia baik sekarang. Kamu banyak ngobrol sama dia, ya?"

"Aku malah punya kontaknya."

"Oh." suara Nada di seberang telepon. Ada hening yang panjang.

Yang Kuharap Tidak Pernah KudengarWhere stories live. Discover now