Cerita 6

99 5 0
                                    

"Bukan apa-apa, itu buat Dudi." kataku kemudian.

"Dudi yang kacamata? Yang berdua sama kamu terus?" suaranya kembali bersemangat.

"Iya, tapi kamu jangan bilang-bilang orang. Kamu tahu teman-temanku." Nada bergumam beberapa kali. Kuanggap itu tanda setuju.

"Dudi itu saudara kamu, Mar?"

"Iya, sepupuku, anak dari adik kandung ibuku." aku mencoba menjelaskan beberapa kali di kalimat ini sampai kami berdua tertawa karena bingung.

"Kalian tinggal serumah, ya?"

"Iya, ceritanya panjang, kapan-kapan aku ceritakan."

"Enak ya, bisa belajar berdua kalau lagi ulangan seperti ini?"

"Apanya yang belajar," aku tertawa, "Dia sedang menonton sinetron di ruang tamu. Aku sedang download film di komputer sekarang."

"Setiap aku telepon, kamu selalu sibuk dengan film, Mar. Kamu tidak pernah belajar, ya?"

"Aku suka film, lagian di sekolah kita itu sudah belajar tujuh jam," aku bersandar sedikit ke bangku depan komputer, "Katakanlah enam bulan penuh kita masuk sekolah. Enam bulan itu seratus delapan puluh hari. Kamu kalikan tujuh jam. Sebanyak itu kita belajar di sekolah, kalau nilai ulangan kita jelek hanya karena tidak belajar satu malam, berarti ada yang salah dengan cara belajar kita di sekolah."

"Sombong sekali, ya, yang katanya paling pintar di Multimedia Satu." walaupun agak tidak enak kedengarannya, tapi aku memaksakan sedikit tertawa.

"Kamu sendiri tidak belajar, malah menelpon." aku mengalihkan pembicaraan.

"Ini aku sambil pegang buku, lho, Mar."

"Mana fokus kalau begitu." agak kucemooh dia sedikit.

"Baik, aku akan tutup teleponnya dan serius belajar," kata Nada. Aku menyesali kata-kataku sebelumnya, "Tapi aku minta tolong boleh?"

"Tolong apa?"

"Tolong downloadkan aku film, ya?" ia kemudian menyebut nama filmnya.

"Lalu bagaimana caranya aku kasih ke kamu?"

"Ya, kita ketemu." aku menelan ludah. Kita bertemu? Di telepon mungkin aku orang yang cukup banyak bicara, tapi aku rasa akan canggung di dunia nyata.

"Kapan, Nad?"

"Nanti kita atur lagi. Tapi janji, ya, Mar?"

"Mudah-mudahan aku bisa." beberapa kalimat kemudian telepon ditutup. Aku memandangi komputer. Apa kubilang saja aku gagal mendownload film ini secara ilegal?

...

Pertemuannya Jumat. Setelah Nada bercerita tentang film drama Indonesia yang baru saja rilis di bioskop, aku yakin pertemuan Jumat nanti tidak hanya akan menjadi pertemuan dua anak sekolah yang bertukar film di sekolah. Maka aku membuat banyak alasan. Dari candaan seperti, 'Aku besok sakit panu', sampai beralasan bahwa kenyataannya aku tidak ada kendaraan. Sekolah melarang muridnya yang tidak punya SIM untuk berkendara. Aku pernah sial sekali ketika berkelahi dengan Dudi selama sebulan, lalu gengsi untuk diboncengnya yang memang sudah punya SIM. Kupinjam motor yang ada di rumah orangtuaku dan entah bagaimana seorang guru bisa tahu aku memarkir kendaraan di gedung serbaguna samping sekolah. Surat panggilan orangtua sampai padaku karena hal itu. Semenjak hari itu, ayah menyita motorku di rumahnya sampai aku benar-benar punya SIM.

"Kita naik bis, saja, ya? Aku tidak apa-apa." Nada punya alasan lebih banyak lagi untuk bertemu.

Tiba harinya. Aku masih takut dan sempat berpikir untuk kabur seperti pengecut. Ada banyak ketakutan, salah satunya aku cukup tahu diri bahwa aku orang yang membosankan dan takut Nada balik badan. Makin siang tak ada jalan keluar muncul, kuputuskan untuk pergi saja dan yang terjadi, terjadilah.

Aku bilang pada Dudi bahwa aku tak ikut pulang bersamanya.

"Wah, kebetulan, Mar. Aku juga lagi ada urusan." aku lega, ia tak curiga.

Kutunggu Nada depan masjid sekolah, selepas salat Jumat, ketika teman-temanku sudah bubar menuju warkop. Sebuah suara memanggilku dari jauh, lalu menengok ke arah suara itu. Seragamnya tertutup sweater hitam, berpadu dengan tas putih yang digendong di belakang dan hanya terlihat talinya di bahu. Rambut poni yang menutupi kening lebar dan sisanya diikat kebelakang. Dia memberikan senyum simpul yang membuat matanya menyipit ketika menghapiriku. Angin musim kemarau mengembus badannya yang kecil sampai aku takut ia akan terempas.

"Ini. Lama, ya? Pasti kepanasan." dia menyodorkan minuman kemasan berwarna hijau. Aku menerimanya saja.

Kami lebih banyak diam di bis. Cerewetnya di telpon hilang. Aku sempat menawarinya film dan ia menyuruhku menyerahkannya nanti saja. Saking tidak tahu apa yang sedang dibicarakan, aku bahkan sempat-sempatnya menggumam lagu pengamen yang sedang bernyanyi di depan bis.

"Nilai magangmu sudah keluar, Mar?" Nada memecah sunyi.

"Sudah, kamu?"

"Aku juga sudah," dia kemudian terlihat berpikir sejenak, "Ada anak pemasaran yang nilainya belum keluar karena dia sebulan menganggur, tidak magang."

"Untung aku selamat." kataku.

"Kenapa selamat, Mar?" tanyanya. Aku memberikan uang seribu kepada pengamen yang melewati kami.

"Di kantor pertama aku minta magang tiga bulan, ternyata hanya dapat dua. Hampir sebulan aku menganggur. Untung ada kenalanku, namanya Si Kribo. Dia kerja di konveksi dan bosnya juga punya percetakan di samping toko itu. Aku masuk dengan mudah."

Topik tentang sekolah menyelamatkan pembicaraan kami. Meski agak membosankan, namun cukup mengulur waktu sampai sebuah taman dimana kami harus menyambung bis.

"Filmnya masih lama, jam empat." kataku sambil memperlihatkan layar handphone yang memperlihatkan masih jam dua kurang sepuluh menit, "Di taman saja dulu, kamu haus?"

Aku membalas minumannya dengan membelikannya minuman serupa di pinggir jalan. Kami menonton permainan biola seorang pengamen jalanan dan bercerita bahwa ia ingin sekali bisa main biola.

"Kamu bisa main alat musik, Mar?" tanyanya. Aku menggeleng.

Yang sedikit aneh adalah suasana cair ketika seorang nenek-nenek yang sedang membawa anjing berbulu lebat lewat di depan kami. Nada sudah bersiap ketika anjing itu akan lewat dari jauh. Tapi anjing tersebut membelok dan mengendus kaki Nada. Ia berteriak mengangkat kaki ke bangku taman. Aku tertawa keras sampai dilihat orang sekitar. Ia menepuk pundakku sebal. Si nenek meminta maaf.

"Tidak lucu, tahu." kemudian ia bercerita bagaimana ia menganggap anjing itu lucu untuk dilihat tetapi ia terlalu takut untuk menyentuhnya.

"Aku tidak begitu suka anjing sih, biasa saja. Tapi aku berani memegangnya." ketika Nada menantangku balik, nenek dan anjingnya sudah berlalu. Kami melihat ke arah mereka dan kebetulan terlihat seorang tukang penjual gelang anyaman dari tali yang sedang menenteng dagangannya. Buru-buru Nada berlari kesana dan kembali dengan sempat buah tali. Sepasang berwarna hitam putih, dan sepasang lagi berwarna biru dongker dan putih.

"Aku tak suka warna mencolok." katanya.

"Lalu yang biru itu?"

"Ini punyamu. Cocok dengan warna sepatumu." ia menunjuk converse biru dongker palsu yang kubeli tempo hari.

"Aku tak suka pakai gelang." kataku seraya mengangkat pergelangan tangan yang tidak memakai apa-apa.

"Kau simpan saja tak usah dipakai," katanya sambil mulai asyik menganyam tali tersebut, "Aku suka membeli ini ketika SD, anyamannya bisa dari yang paling gampang sampai yang rumit seperti kepangan." aku manggut-manggut sembari bertanya banyak tentang anyaman itu. Aku pernah melihatnya, tapi tak pernah tertarik.

"Omong-omong," katanya sambil terus menganyam, "Katanya cerita kamu dan Dudi panjang, ya? Memang bagaimana ceritanya?"

"Eh, itu, ya. Jadi begini... duh, mesti cerita darimana, ya?" aku berpikir sejenak.

Yang Kuharap Tidak Pernah KudengarTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon