Cerita 2

322 8 6
                                    


"Kamu sudah tahu belum kalau kamu cantik?" teman di sebelahnya megulangi. Dia bengong sebentar. Teman-temannya terlihat bingung. Beberapa tersenyum sendiri melihat tontonan di depan mereka.

"Belum – maksudku – tidak – bagaimana, ya?"

"Aku cuma mau memberitahu."

"Baik."

"Terimakasih, ya, Nada."

"Sama-sama."

Aku berbalik. Suara teman-teman Nada yang tertawa kecil terdengar dari balik punggungku. Aku tak tahu bagaimana raut wajah Nada. Yang kulihat hanya wajah sembilan orang dungu yang menahan tertawa sembari pura-pura mengobrol. Satu hal yang terpikir olehku: lalu kenapa aku yang mengucapkan terimakasih ke Nada, bukankah seharusnya sebaliknya?

Aku bergabung kembali bersama teman-temanku, duduk di sebuah kursi, memunggungi Nada. Aku tak lagi punya muka. Aku menyesali hari ini.

"Ayo, ke kelas." Dudi menepuk pundakku. Aku hanya menuruti ajakannya tanpa bicara. Berjalan hati-hati di belakang punggungnya. Melewati lorong depan kantin tanpa melihat ke belakang sekalipun. Masuk ke kelas dimana hanya ada anak-anak yang belum mengerjakan PR berkumpul di bagian belakang kelas.

Begitu sampai, Dudi langsung menggebrak meja paling depan. Tertawa keras sampai dilihat orang-orang yang sibuk di bagian belakang.

"Benar-benar bodoh!" ia benar-benar terbahak memegangi perutnya. Aku hanya langsung menuju mejaku.

"Apa yang lucu, Dud? Cerita-cerita." kata anak-anak yang sedang mengerjakan PR di belakang kelas. Kelas ini memang tukang gosip.

"Tidak ada, tadi dia terpeleset di kantin." Dudi meredakan tawanya. Semua tersenyum kecut lalu kembali ke tugasnya masing-masing. Dari tampangnya, mereka menginginkan sesuatu yang lebih bodoh dan itu masih kurang. Sesuatu yang lebih bodoh itu datang dari pintu kelas, ketika Adi masuk dengan menendang pintu lalu berteriak kencang,

"Anjing! Damar bilang Nada cantik terus langsung kabur!"

Kurasa ini akan lama. Paling tidak dua minggu. Aku menyesali hari ini.

...

"Ini duitnya, Bos Damar." uang yang dikumpulkan di tangan Adi akhirnya tiba padaku. Empat ratus lima puluh, setelah kuhitung satu-satu. Kukeluarkan satu buah uang berwarna biru dari tumpukan tersebut dan menaruhnya di meja.

"Yang ini buat patungan saja." demi mendengar kata tersebut, semua langsung ribut. Beli kacang, beli kopi, beli ini-itu. Satu orang bahkan sudah berdiri di depan penjaga warkop yang kami singgahi. Minta satu es jeruk lagi, katanya. Macam seluruh dunia ini bisa mereka beli dengan uang segitu. Tapi buat sekumpulan bocah yang belum akil balig, lima puluh ribu memang cukup besar.

"Bos Damar lagi bahagia hari ini, makanya kita kena traktir." Adi menepuk-nepuk pundakku.

"Bahagia apanya? Malunya, bos." aku menyalak.

"Mesti bahagia Mar, kalau ketemu perempuan cantik." Dudi mencoba mengungkit. Lalu aku ingat lagi momen itu. Kutempelkan tangan di kening seolah itu akan membantuku melupakan momen tadi siang. Bila mengingatnya aku ingin berteriak. Bahkan empat ratus lima puluh ribu ini terasa belum sepadan kalau kuingat lagi.

"Tapi Nada itu cantik juga, loh, Mar. Ramah-ramah mungil gimana, gitu." Adi coba sambung lagi, "Kalau kau mau coba serius kan, bagus juga buatmu sepertinya."

"Kalau nanti aku digampar dia karena tahu dia bahan taruhan apa masih bagus namanya?" Adi hanya cengengesan. Pembicaraan melompat, menceritakan magang yang baru kami lalui tiga bulan belakangan, yang buat kami jadi jarang bertemu di warung kopi tempat kami biasa berkumpul ini. Lalu melompat lagi ke ujian akhir sekolah yang akan diadakan satu setengah bulan lagi.

Yang Kuharap Tidak Pernah KudengarWhere stories live. Discover now