Cerita 4

154 5 0
                                    


"Ada apa, ya?" aku baru membalas ketika sampai di rumah. Tiga puluh menit kemudian pesan dibalas.

"Aku mau minta maaf."

"Maaf buat apa?"

"Kayaknya kau marah."

"Marah bagaimana?"

"Kau selalu menunduk, kalau kita bertemu kau tidak pernah menyapa dan mukamu selalu jutek. Maaf harus bilang begitu, dan maaf kalau memang temanku agak berisik. Mereka sepertinya tidak akan meledekmu lagi, kok."

"Tidak usah minta maaf, aku tidak marah kok. Biasa saja memang mukaku begitu."

"Sekali lagi, maaf ya, Damar."

"Iya."

Kukira pesan itu adalah akhir. Tapi ternyata besok sorenya dia masih mengirim pesan. Bertanya seperti aku magang dimana kemarin, apakah aku bersama dengan Dudi ketika magang dan hal-hal pribadi yang sejujurnya aku enggan menjawabnya. Namun kupikir demi kesopanan aku akan tetap menjawabnya. Meski begitu, aku tak membalikkan pertanyaan. Untuk apa juga? Aku bahkan tak begitu mengenal orang ini.

Ketika aku sudah berusaha tidak membalas, ia mengomentari hal-hal yang bisa dikomentari di aplikasi pesan singkat ini. Seperti foto yang baru kuganti, atau status yang kutulis. Aku mulai merasa risih. Untungnya di hari keempat, hal itu sudah tak terjadi lagi. Berpapasan di sekolah jadi momen yang cukup canggung setelahnya. Ia berbalik badan dan menghindar. Seperti melihat demit lalu kau ketakutan, tapi kau berpura-pura demit itu tidak ada agar demit itu tidak tahu kau ketakutan dan mengejarmu. Buatku yang ada di posisi sebagai demit, tidak ada untungnya juga untuk mengejarnya. Dia satu orang yang tidak begitu penting, dia hanyalah satu dari sekian banyak urusan.

"Mar, duit patungan anak-anak sudah terkumpul," kata Adi meletakkan uang yang dilipat kertas di mejaku, "Kau buat seragam kelas kita untuk classmeeting bola nanti, ya." sementara ada urusan lain yang telah sampai di mejaku.

"Cepat amat kumpul uangnya?" tanyaku.

"Masih pada sisa uang magangnya mungkin, Mar. Cuma aku yang mesti bongkar celengan."

"Oke, siap bos. Ada upah tebusnya?" dia kemudian berpikir sejenak atas pertanyaanku.

"Ya, kau buat saja dulu desainnya nanti langsung pesan ke tukang baju langgananmu."

"Bercanda, Di," aku tertawa kecil, "Memang langsung buat? Kau tidak mau lihat dulu desainnya? Paling Senin sudah jadi."

" Tidak usah." Adi mengibaskan tangannya, "Anak-anak sudah percayalah. Kau masuk jurusan ini karena kau memang jago desain grafis. Kalau kita-kita ini kesasar masuk sini, Mar, yang penting sekolah."

Maka Jumat itu aku mulai mengerjakannya. Seebelum maghrib sepulang dari warkop, aku sudah masuk kamar dan duduk di depan komputer. Mengunci pintu, mencari desain yang pas untuk sebuah baju. Mulai dari sore menjelang malam, mendengar Dudi dan nenek ribut mengenai sebuah acara TV di ruang tamu, hingga lampu ruang tamu terlihat padam dari ventilasi kamar. Benar-benar senyap. Mereka tertidur. Setengah dua pagi dan kaos ini sudah nampak ujungnya. Merah marun dengan tulisan Multimedia Satu dan coretan batik berwarna putih di pinggang sebelah kiri. Logo kelas kami yang kubuat saat kelas satu menghiasi dada sebelah kiri. Kukirim gambar itu ke Si Kribo, pemilik konveksi yang lama kukenal semenjak SMP pagi itu juga. Dia memang tak keberatan karena aku telah lama menjadi langganannya. Dia belum tidur, maka kutransfer uangnya secara online. Dan dia siap menyelesaikan sepuluh kaos itu Senin nanti. Aku tertidur dan bangun tinggi hari.

Senin siang sepulang sekolah, aku berangkat bersama Dudi ke tempat Si Kribo. Konveksinya berada di sebuah gang di daerah Senen. Tetapi sebelum itu, kami telah setuju untuk mampir ke Pasar Poncol.

"Jaketku sudah jelek." kata Dudi sebelum kami kesana.

"Lalu kau beli di Poncol?"

"Memang kenapa?"

"Itu kan sudah bekas."

"Bekas tak bekas intinya jaket. Tinggal direbut dengan air panas juga bersih lagi. Lagian juga kata orang kalau kau jeli, disana banyak barang impor."

Ia lalu membeli sebuah kaos panjang berwarna hitam seharga sembilan belas ribu. Aku hanya mengikuti kakinya melangkah, padahal sudah terkantuk dan lelah. Berdiri di tengah-tengah gantungan baju, terkadang rak sepatu, sesekali memilih dan akhirnya pilihan itu jatuh kepada sebuah sepatu converse baru warna biru dongker seharga seratus dua puluh ribu.

"Mahal, Mar. Palsu lagi."

"Mahal atau palsu intinya kan sepatu."

Usai mampir, baru kami ke konveksi Si Kribo. Dengan muka kusut dan rambut gondrong terikat ke belakang, ia menyambut kami dan mempersilahkan kami duduk.

"Minum dulu, bos" ia memberikan kami sebuah air mineral gelas kemasan. Kemudian meneriaki salah satu karyawannya yang bertelanjang dada. Karyawannya langsung naik ke tangga dan turun menggotong buntalan karung kecil.

"Uangnya sudah kan, bang?" tanyaku.

"Bereslah, dicek dulu nih barangnya."

"Nanti saja deh," aku benar-benar lelah, "Kalau ada yang kurang balik lagi masih diterima kan, ya?"

"Kayak baru kenal deh, Si Bos." ia cengengesan.

Orang-orang yang berebut jalan pulang di sore hari buat kami lambat pulang. Baru jam lima kami sampai di warkop.

"Pantas lama, shopping dulu." sindir salah satu dari mereka. Mungkin karena melihat kantong plastik yang kami jinjing selain karung. Setelah membuka karung, mereka nampak sumringah. Satu per satu memeriksa bajunya, tak lupa baju yang tidak ada tuannya juga diperiksa kalau ada kurangnya. Kukabari Si Kribo, berterima kasih. Semua lengkap. Semua baik. Tambah baik juga perasaanku ketika Adi memberikan upah atas baju itu, uang tebus katanya. Susah payah aku menolaknya.

"Anak-anak ikhlas, Mar. Lihat tampang kusut begitu ke Senen."

"Tidak usah, tidak enak."

"Kalau tidak mau diambil nanti masuk nih ke kantong." dia menunjuk saku seragamnya. Akhirnya kuambil juga uang itu.

Upah lelah yang sepadan. Setelah berganti baju, aku merebahkan badan di atas kasurku yang beralaskan sprei hitam. Aku merencanakan, mungkin akan bangun esok hari saja. Aku menggosokkan tanganku ke kasur ini. Tidak pernah kasur tipis ini jadi senyaman ini. Saking nyamannya aku hilang. Tidur.

Aku terbangun. Apa itu barusan?

Kucoba mengingat lagi apa yang barusan aku alami. Sebuah mimpi. Aku sedang berada di depan sebuah komedi putar, melihat orang-orang menaiki patung-patung kuda, rusa, zebra, dan gajah. Berputar. Berputar. Berputar.

Aku membalik badan, melihat tukang minuman asongan. Kuhampiri tukang minuman tersebut. Tanpa bicara ia memberiku sebotol kola. Seorang perempuan berdiri disampingku sedang menangis. Kulihat bahunya. Ia menutup wajahnya. Cukup lama sampai ia membuka tangannya, memperlihatkan tangisan yang disertai senyum. Dia Nada. Dia menangis. Dia tersenyum. Lebih terlihat seperti terharu.

"Aku mau pergi, jauh."

"Eh, kemana?" tanyaku.

Sampai sana, aku terbangun. Mimpi aneh itu maksudnya apa? Bahkan aku tak sempat minum kola di mimpi tadi.

Kuambil telepon genggam, kuketuk pintu kamar mandi. Yang di dalam tak menjawab. Romi nampaknya sedang asyik berlagu sampai-sampai suaranya terdengar keluar pintu kamar mandi, entah apa yang dia sabuni di dalam sana. Kutunggu Romi selesai dan duduk di ruang tamu. Sembari memikirkan mimpi apa tadi itu. Kupandangi telepon genggamku. Jam setengah sembilan malam. Nenek duduk di depan televisi menonton sinetron yang menampilkan orang yang sedang melahirkan.

Aku tidak khawatir pada Nada, semata karena aku tak percaya tahayul. Rindu mungkin agak terdengar aneh. Merindukan apa? Mengobrol saja jarang, kenal pun, tak terlalu. Tapi entah mengapa aku begitu ingin melihatnya. Perempuan yang tiga hari belakangan nampaknya sudah tak tertarik lagi untuk melanjutkan bertukar pesan singkat denganku. Aku pun begitu.

Pada awalnya.

Kubuka telepon genggam yang sedari tadi kupegang. Membuka sebuah aplikasi pesan. Status terbaru. Nada. Kupandangi lamat-lamat hanya untuk satu keputusan kecil: komentari statusnya. Sepuluh menit berlalu. Beberapa menit. Tak ada balasan.

Yang Kuharap Tidak Pernah KudengarWhere stories live. Discover now