Cerita 3

124 3 0
                                    

Walaupun demikian memalukan, tapi sisa hari mengumpulkan amal Jumat itu cukup lancar. Hanya ada 'cie-cie' kecil yang kudengar setelah guru di kelas akuntansi menyuruh mereka mencatat. Aku dan Dudi yang kena tegur, kemudian membawa kotak amal untuk berkeliling kelas tersebut. Aku sendiri hanya perlu menghindari tempat Nada duduk.

Begitu pun pulang sekolah. Adi tak terlalu meledekku lagi. Di warkop ia hanya bertanya, mendengar cerita sebentar, lalu tertawa. Setelahnya ia hanya sibuk meracau tentang classmeeting dan bagaimana kelas kami mesti bawa trofi juara bola nanti. Hal-hal memalukan pun, berlalu dibawa angin sore di Jumat itu. Di hari Senin, sisa malu itu nampaknya hampir habis. Aku mulai pergi lagi ke kantin.

Tentu aku bertemu Nada. Melihat perempuan dengan rambut terikat ke belakang dengan poni menutupi kening itu membuatku agak terkejut. Teman-teman yang ada di sekelilingnya menatapku sesaat, untuk kemudian sibuk lagi dengan yang mereka bicarakan. Mungkin mereka membicarakanku, mungkin juga tidak, tapi siapa peduli? Setidakpeduli Adi dan teman-teman yang memilih tempat agak jauh dari mereka. Aku duduk memunggungi Nada dan kawan-kawannya. Adi yang berhadapan denganku memang sempat mencolekku dan menunjuk Nada menggunakan dagu. Tapi aku tak menengok ke belakang. Toh, sehabis itu Adi juga tak peduli dan malah membicarakan hal-hal lain. Semua orang punya urusannya masing-masing.

Dan seseorang nampaknya juga punya urusan denganku. Sampai-sampai harus mengirim pesan di sore sepulang sekolah, saat aku sedang sibuk mengembus asap sebatang kretek di wakop,

"Ini Damar, kan?" tulisan di layar handphoneku.

"Iya, siapa?"

"Ini Nada."

Mau apa orang ini?

Yang Kuharap Tidak Pernah KudengarWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu