Namanya Dewi

60 0 0
                                    

Aku sedang berada di sebuah bus malam menuju Bandung bersama dua kawanku. Kami mengobrol kesana-kemari sepanjang perjalanan. Muli dari urusan kuliah, kerja, masa depan, hingga sampai pada akhirnya kami memperbincangkan seorang perempuan yang kelak akan menjadi subjek utama dalam tulisan ini. Saat itu juga, aku langsung terobsesi untuk mengenalnya lebih dekat.

Perkenalkan, perempuan baik dan ramah itu namanya Dewi. Kami berdua sama-sama masih berstatus mahasiswa di sebuah perguruan tinggi swasta di kota Jogja. Saat itu, baik aku ataupun Dewi tengah sibuk dengan aktivitas masing-masing. Dewi sedang sibuk mencari pengalaman kerja profesional di sebuah kantor media ternama di Jakarta, sedang aku masih sibuk santai-santai begini-begini saja.

Baik aku dan Dewi adalah mahasiswa di jurusan yang sama, bahkan satu angkatan. Tetapi aku baru benar-benar mulai mengenalnya hari ini. Sebelumnya aku hanya sebatas tahu.

"Oh itu orangnya."

Tidak lebih, hampir selama tiga tahun di kampus yang sama. Kami belum pernah bertemu secara khusus.

Perkenalan kami terus berlanjut, walaupun baru sebatas pesan di handphone. Dewi begitu terbuka, ia suka menceritakan kegiatannya selama di Jakarta kepadaku. Dia Nampak begitu menyukai kegiatannya. Aku merasa nyaman dengan obrolan selama itu, dan kupikir begitu pun dengan Dewi. Ia memang sangat gampang berteman dengan siapa saja dengan orang baru. Tetapi bukannya aku kepedean, walaupun memang pada akhirnya aku kepedean, gaya bahasa Dewi seperti mengisyaratkan lebih kepadaku.

Sifat dan karakterku memang bertolak belakang dengan Dewi. Dia begitu terbuka dan aku relatif introvert. Meski demikian, baru kali ini aku merasa aku bisa berusaha terbuka dengan perempuan yang belum lama kukenal. Dia memang peduli dan mau mendengarkan. Dalam pikiranku saat itu, aku harus berusaha mengimbanginya.

"Aku pulang ke Jogja minggu depan," Dewi memberi kabar.

Jarang-jarang sekali ada perempuan yang memberiku kabar seperti itu. Setiba di Jogja, aku berniat menemuinya dalam sebuah kesempatan usai sebuah kelas di kampus. Secara kebetulan aku satu kelas dengannya. Benar, kami berdua memang mahasiswa yang sudah tiba saatnya untuk segera lulus.

*

Rabu, 22 November 2017. Kelas dimulai pukul delapan pagi. Aku datang tergesa-gesa. Dewi yang baru saja tiba dari Jakarta beberapa jam sebelumnya sudah berada dalam ruangan. Mata kami langsung bertemu satu sama lain. Aku hanya melempar senyum yang juga ia balas senyum. Aku hanya memperhatikannya sepanjang kelas berlangsung. Aku tahu waktunya berada di Jogja tidak lama. Dewi akan segera kembali ke Jakarta untuk menyelesaikan kegiatan magangnya. Maka dari itu, usai kelas berakhir, aku sengaja tidak langsung pulang untuk menunggunya di pintu keluar. Kalau aku tidak salah, itu menjadi pertama kalinya aku berkomunikasi dengannya secara langsung. Benar saja, dia memang begitu ramah.

Dewi kembali ke Jakarta dua hari kemudian. Bahagianya aku pada saat itu adalah setelah dia mengiyakan penawaranku untuk mengantarnya ke bandara. Aku sempat tidak percaya, perempuan baik dan ramah itu duduk berada di sampingku dalam perjalanan menuju ke bandara. Momen inilah yang menandai daftar panjang obrolan pertama kami di mobil.

Deg-degan! Beberapa aku salah tingkah di sepanjang jalan. Sampai-sampai aku lupa menutup pintu mobil di area parkir bandara! Nasib baiknya, tidak ada barang-barangku yang hilang.

Komunikasi kami kembali harus melalui handphone. Sejak bangun di pagi hari, di sela-sela aktivitas kami seharian, hingga saat larut malam sebelum kembali beristirahat, kami saling berbagi cerita lewat telepon. Karena itulah, aku seperti tidak merasakan jarak yang jauh antara Jogja dan Jakarta. 

DewiWhere stories live. Discover now