Menyambut Musuh

16 0 0
                                    

Dewi perempuan penakut. Dia tidak jarang mengungkapkan ketakutannya padaku. Ketakutan akan masa depan kami berdua yang tidak ada seorang pun yang bisa memberikan jaminan.

"Aku takut," Dewi sering bilang itu di perjalanan aku mengantarnya pulang.

Dua jok depan mobilku memang menjadi ruang yang begitu intim bagi kami berdua. Percakapan-percakapan tentang masa depan sering kami obrolkan sembari berharap kami tidak tiba di rumah dengan cepat. Tidak jarang aku sengaja pelankan pedal gas mobil, berharap bertemu lampu merah di setiap persimpangan, sampai-sampai memilih jalan memutar yang lebih jauh agar pertemuan kami bisa lebih lama.

"Dulu aku benci lampu merah, sekarang aku suka."

Kami berdua hanya senyum-senyum.

Dia tidak satu dua kali bilang. Berkali-kali, hampir setiap kali kami bertemu dia mengutarakan rasa takutnya. Sesering itu pula aku mencoba selalu meyakinkan Dewi bahwa aku lah yang akan menjamin semua itu.

Aku hanya bisa beretorika, aku sadar aku tidak mampu benar-benar menjaminnya. Aku pun sama dengannya. Aku takut. Tapi aku sadar, aku laki-lakinya. Aku harus memimpin dan membantunya keluar dari rasa takut. Dalam kondisi tersebut, kami berdua hanya bisa saling percaya.

Aku tidak pernah menganggap ketakutan itu sebagai sebuah bentuk ketidakpercayaan. Aku justru melihat ketakutan itu sebagai sebuah semangat, sebuah keyakinan, dan sebuah motivasi agar tidak gagal di tengah jalan.

Dewi beberapa kali menceritakan kegagalannya di masa lalu kepadaku. Kegagalannya yang tidak hanya sekali. Tapi bagiku, aku tidak peduli dengan semua masa lalu itu. Aku melihat Dewi memiliki semangat yang besar untuk memperbaikinya bersamaku.

Sebagai pasangan baru, kami berdua sedang membangun kini sedang sibuk membangun hubungan perlahan namun pasti. Ibarat membangun negeri yang baru saja berdiri, aku lah panglima tertingginya. Dewi adalah jenderal yang setia menemaniku tugas dan kewajibanku menjaga negeri itu agar tetap aman dari musuh. Kami tengah merencanakan membangun benteng pertahanan mengitari negeri kami berdua agar aman. Kami tengah menyiapkan segala kelengkapan pertahanan mulai dari pasukan dan senjata-senjata. Saat itu pula, kami juga tengah menyusun strategi pertahanan agar benteng kami tidak mudah untuk ditembus musuh.

Jika tiba saatnya nanti, ketika musuh datang, kami sudah siap. Strategi kami sudah matang, maka kami tinggal melaksanakannya saja dengan penuh keyakinan. Kami sadar kami harus mengubah rasa takut kami menjadi pelecut semangat menyelesaikan perjuangan.

Kami sadar musuh akan datang silih berganti. Kami harus bersiap menyambutnya. Dan ketika mereka benar-benar akan datang, semoga kami benar-benar sudah siap.

DewiWhere stories live. Discover now