Things Better Left Unsaid

5.8K 175 3
                                    

Masa-masa remaja kuhabiskan dengan mendengarkan musik Barat. One Direction, adalah band favoritku sepanjang masa. Aku telah menyukai mereka sejak aku di sekolah dasar, jadi bisa kamu bayangkan betapa aku mencintai empat—ralat, lima—orang pria berkebangsaan Inggris itu (anggap saja Niall berkebangsaan Inggris!). Bahkan, saking sibuknya mengagumi mereka, aku tidak pernah berpikir akan menyukai hal lain untuk menghabiskan waktu remajaku.

Tenggelam dalam duniaku sendiri, itulah yang sering dikatakan teman-temanku. Apakah aku peduli? Tidak. Aku tidak ingin seperti mereka yang berbagi tawa bersama manusia fana. Aku hanya ingin hidup di dalam anganku yang—dengan bodohnya—juga fana dan semu. Hanya saja di sana aku merasa bebas, walau nyatanya tubuhku terbelenggu oleh ketidakmampuan atas kenyataan yang dihadapkan.

Namun, kemudian kamu datang dan menjadi titik balik akan segala persepsi yang terpahat sempurna di dalam kepalaku. Tanpa memberikan sedikitpun peringatan, kamu menyelinap masuk ke dalam hidupku dan memporakporandakan apa yang telah tersusun rapi di sana. Salahkan kakakku yang memperkenalkanku pada teman-temanmu. Teman-temanmu yang bersinar layaknya bintang. Teman-temanmu yang selalu menjadi magnet kuat sebagai simbol kesempurnaan.

Pada awalnya semua tentang teman-temanmu, kan? Itu yang selalu kamu katakan mengingat betapa rendahnya kepercayaan diri yang kamu miliki. Teman-temanmu yang mempunyai segalanya—termasuk kamu sendiri. Tetapi, mengapa netra ini hanya tertuju padamu yang memilih menyingkir dari keramaian? Mengapa telinga ini menangkap melodi suaramu saja di antara ingar bingar pekikan gadis-gadis belia yang memujamu layaknya seorang pemimpin yang menawan?

Memang, temanmu ada yang bertubuh tinggi—setinggi anganku padamu. Ada juga yang berkulit halus—seperti halusnya perasaanku terhadapmu. Bahkan ada yang menari dengan begitu aktif—seperti detak jantungku setiap kali melihatmu.

Mata ini tidak pernah salah.

Kulitmu sepucat vampir, sangat kontras dengan bibir tipismu yang selalu tampak memerah layaknya darah. Topi-topi dengan merek kenamaan selalu menutupi helai-helai rambut lurusmu. Apa kamu tahu bahwa aku paling menyukai suraimu ketika helai-helainya berwarna coklat? Aku selalu ingin menyentuh bulu matamu yang mencuat ke atas tanpa permisi, yang berwarna hitam legam layaknya ketumpahan maskara setiap kali kelopak matamu melindungi netranya dari cahaya. Tatapan matamu menyaingi elang yang sedang terbang mencari mangsa.
Kamu memang sangat menawan. Pantas saja ada jutaan gadis di luar sana yang rela mengantri demi mendapatkan segores tinta hitammu. Dan tebak, aku tidak pernah bisa menjadi salah satu dari mereka, kan?

Kamu dengan duniamu yang ramai dan aku dengan mimpiku yang tak mungkin tercapai.

Namun, entah apa yang ingin kubuktikan, tetapi aku selalu merasa ada sesuatu yang kamu sembunyikan setiap kali sudut-sudut bibirmu melengkung ke atas dengan indah. Otot-otot bisep hasil latihanmu bertahun-tahun itu pasti menyandang sesuatu yang lebih dari sekadar barbel seberat 50 kg.

Benar, bukan?

Sebenarnya, apa yang kamu rasakan? Apakah kamu bahagia dengan apa yang sekarang kamu genggam? Aku tidak ingin berspekulasi, terus menghadirkan anak pikiran yang sifatnya meracuni. Di balik senyumanmu yang memabukkan, aku tahu ada beban berat yang kamu simpan. Kenapa kamu menyimpannya sendirian?

Ah, lagi-lagi aku tahu jawabanmu.

Rasanya pasti sulit untuk berbagi cerita yang kamu sendiri ragu apakah akan didengarkan atau tidak. Aku tahu rasanya. Aku sangat tahu itu.

Itulah yang menjadi alasanmu untuk tetap diam—tentu saja juga menjadi alasanku. Tentang betapa dalam aku menyukaimu, biar Tuhan kemudian aku saja yang mengunci jawabannya rapat-rapat. Karena aku tahu, entah sekeras apapun aku mencoba, sejauh apapun aku melangkah, dan setinggi apapun aku bermimpi, aku akan tetap kembali ke tempatku berasal.

Aku tetap menjadi aku. Kamu tetap menjadi kamu. Aku dan kamu tidak akan pernah berjumpa walau hanya bersisian di tengah jalan.

Realita memang kejam dan lucu, bukan?

Siapa kamu? Dan siapa aku?

Kamu adalah kamu yang bersinar layaknya bintang Sirius di langit malam.

Aku adalah aku yang memandangi figurmu setiap ada kesempatan.

Aku adalah aku yang selalu menyebut namamu dalam doa-doa yang kupanjatkan pada Tuhan.

Juga aku adalah aku yang tahu bahwa itu semua akan berujung pada kesia-siaan.

Aku ingin memberitahumu bahwa dadaku sesak. Kamu tahu, rasa ketika seluruh oksigen ditarik paksa dari paru-parumu hingga napasmu hanya tersisa di kerongkongan. Dadaku seperti dipukul-pukul oleh palu tak kasat mata yang sakitnya tak terhingga. Lucu kala mengingat bahwa itu adalah rutinitasku setiap kali aku hanya dapat memandangimu dari benda pipih canggih hasil pemikiran intelek manusia yang sekarang dimiliki oleh seluruh insan dunia.

Aku berharap kamu tidak merasakan apa yang kurasakan. Kamu tahu, rasanya sungguh menyakitkan—juga memuakkan. Cukup aku saja yang berkubang dalam lubang kegagalan akan mimpi-mimpi tentangmu.

Sekarang, berbahagialah. Itu saja pintaku. Aku ingin terus melihatmu tertawa lepas, bebas. Aku ingin terus mendengar melodi indah yang kamu senandungkan. Aku ingin melihatmu menikmati mimpi-mimpi yang telah berhasil kamu tuai. Itu saja. Itu saja.

Karena bagiku, kebahagiaanmu adalah urat nadiku.

Dariku, untukmu sang laki-laki dengan seribu satu cara untuk membuatku merindu, yang tanpa kusadari telah menjadi candu.

Written 2018/06/02
Published 2018/07/06

[✔] TacendaWhere stories live. Discover now