Prolog

2K 107 10
                                    

20 Maret 2024
SMA Angkasa
15 P.M.

Gerbang kokoh sebuah SMA itu masih terlihat bagus, meskipun warnanya sudah mulai usang dan usianya sudah sangat menua. Gerbang yang dibangun bersamaan dengan bangunan sekolah itu masih terlihat sama seperti dulu. Meskipun ruang kelas ataupun ruang lain sudah diperbarui, tapi gerbang itu masih sama.

Alfero menghela napas. Satu tahun sudah ia telah meninggalkan SMA. Termasuk meninggalkan kota yang menjadi tempat kelahirannya.

Setelah lulus dari SMA, Alfero di terima di UI, jurusan kedokteran. Menjadi empat puluh persen terbaik di sekolahnya telah mengantarkan Alfero menjadi salah satu siswa yang masuk SNMPTN.

Dan kini, dia tengah libur selama tiga minggu. Dan Alfero ingin menyempatkan waktunya untuk menghabiskan liburannya di Malang.

Dengan almamater yang masih melekat di tubuhnya, Alfero masih tetap menatap gerbang itu.

Semua kenangan masa smanya berada disana. Rasanya tiga tahun begitu cepat, seperti kemarin saja Alfero melaksanakan MOS, dan sekarang dia sudah lulus. Bahkan resmi menjadi alumni. Tingkatannya pun juga sudah berubah. Dari siswa menjadi mahasiswa.

Alfero menghela napas cukup panjang. Dia tidak bisa masuk ke dalam sana karena sekolah sudah sepi. Gerbangnya pun sudah terkunci rapat dengan gembok yang melekat di bagian depan. Meskipun jaman sudah semakin maju, tapi gerbang itu masih sama seperti dulu.

Kata bundanya, beberapa guru SMA Angkasa sudah pensiun. Beberapa lainnya juga ada yang pindah. Hal itu bunda Fero dapatkan dari informasi sepupu Alfero yang kini menjadi siswa disana.

Cowok itu mengangkat jam tangannya. Waktu terus berputar. Jam terus berdetak cepat.

Alfero menatap gerbang itu kembali sebelum akhirnya ia memutuskan untuk pergi.

***

"Assalamualaikum bunda,"

Seorang wanita yang masih terlihat cantik dengan jilbab persegi keluar dari dalam rumah. Wanita empat puluh lima tahun itu tersenyum ke arah putra semata wayangnya yang baru saja datang dari ibu kota.

"Waalaikumsalam."

Alfero tersenyum sembari menyalami tangan sang bunda. Dia begitu rindu kepada bundanya ini.

"Baru datang, Al?"

"Sebenarnya sudah agak tadi bunda, Fero keliling dulu."

Wanita bernama Fatimah itu tersenyum tipis. Dia menyuruh putranya itu untuk masuk. Ada beberapa masakan kesukaan Alfero yang sudah ia masak siang tadi. Mendengar cowok itu akan datang, rasanya dia begitu bahagia. Setelah sekian lama ia tak bertemu dengan Alfero. Terakhir mungkin saat ada di bandara. Tepat sebelum cowok itu pergi ke Jakarta.

Dan sekarang, dia ingin mendengarkan semua kisah dari putranya. Dan Alfero, cowok pendiam yang dulu terkenal ketus itu memang berbeda jika dihadapan sang bunda. Ia akan menjadi cowok hangat dengan sejuta cerita.

***

"Maaf bunda belum membersihkan kamar kamu. Jadi masih kotor dan berdebu. Kalau kamu mau, kamu boleh menempati kamar lain. Nanti biar----"

"Enggak usah, bunda. Fero tidur disini saja."

Fatimah tersenyum. Dia mengangguk pelan, "Yasudah. Sembari menunggu bunda memanaskan air untuk kamu mandi, kamu bersihkan kamar dulu ya."

Alfero mengangguk. Dia tersenyum pelan sebelum punggung bundanya itu menghilang di balik pintu.

Alfero menatap sekeliling. Sudah satu tahun semenjak ia pergi, kamar ini kosong. Tak ada penghuni tetap yang tinggal disini, meskipun terkadang sepupunya itu tidur di kamarnya, tapi dia lebih suka tidur di kamar lain. Yang ia bebas menempeli dengan gambar Avengers ataupun gambar Naruto.

Alfero berjalan menuju ke meja belajarnya. Meja itu masih sama. Banyak tempelan notes yanh bertuliskan pr-pr juga tugas. Dan beberapa impian Alfero.

Alfero tersenyum tipis. Ia jadi teringat semuanya. Saat dia duduk di meja yang ada disana. Menatap buku-buku setebal ensiklopedi dan tenggelam dalam soal-soal.

Alfero menatap buku-buku miliknya. Hingga kemudian tatapannya jatuh pada sebuah buku setebal rumus kamus Indonesia-Jerman.

Alfero membuka acak buku itu. Hingga kemudian ada benda yang terjatuh dari selipan lembar buku.

Alfero buru-buru mengambilnya. Tatapan Alfero berubah saat iris matanya mendapati sebuah foto polaroid seorang gadis yang tengah candid. Gadis itu tertawa dan dia sama sekali tidak sadar jika tawanya itu berhasil membuat jantung Alfero berdetak lebih cepat. Dan Alfero juga berhasil memotret gadis itu tanpa sepengetahuannya. Bahkan Alfero juga mencetak foto candid-candid gadis itu hingga mencapai puluhan. Semuanya ia koleksi dan masih tersimpan rapi di dalam laci mejanya.

Alfero membalikkan foto itu. Sebuah tulisan kalimat dengan bulpoin tinta hitam ia tulis disana.

19/02/21
My first love

Alfero tersenyum tipis menatap hal itu. Semua rasa rindunya terhadap gadis itu masih sama. Sangat sesak, dan sulit dikendalikan.

Rasa salah pahamnya terhadap gadis itu telah mengalahkan semuanya. Bahkan rasa sukanya terhadap Dilly juga berhasil dikalahkan. Dan faktanya, cowok itu menyesal.

Klise memang, seperti cerita lainnya, Alfero menyesal. Benar-benar menyesal. Rasa kecewanya yang tak berarti itu berhasil membuat gadis yang ia sayangi menghilang. Tuhan benar-benar adil. Seiring berjalannya waktu, cowok itu terus menahan sesak dari rasa rindu yang belum tertuntaskan. Dia ingin bertemu, tapi waktu tak mengijinkan untuk itu.

Alfero memejamkan pelan matanya. Setetes air mata kembali menetes dari sana.

"Kumohon kembalilah, aku merindukanmu."

HurtedWhere stories live. Discover now