05 - Dari bintang, untuk bulan.

782 69 0
                                    

Terkadang menjadi pintar itu tak selalu membanggakan. Karena suatu saat kita bakal dipaksa untuk melupakan. Dan terkadang menjadi bodoh itu tak selalu tersisihkan, karena dalam beberapa hal, orang-orang pintar ingin menjadi bodoh agar bisa mempertahankan hubungan.

***

Alfero mengusap wajahnya kasar. Dia menyesal karena pernah berbuat hal sebodoh itu. Membuat orang yang ia sayangi kecewa. Dan berakhir dengan hal yang Alfero benci---menjauh, dan melupakan.

Lamunan cowok itu seketika buyar saat ada sebuah tepukan pelan di bahunya. Alfero menoleh. Dia mendapati bundanya yang tengah menatapnya dengan tatapan tidak mengerti.

"Bunda tungguin kakak enggak muncul. Ada apa, kak? Ada masalah ya?" Alfero menggeleng. Cowok itu berusaha mengangkat kedua sudut bibirnya hingga membentuk sebuah senyuman.

"Enggak ada bunda. Kalau bunda sudah selesai, ayo bunda kita pulang."

Cowok itu membalikkan badannya dan meninggalkan sang bunda yang masih terdiam. Ucapan, sikap, dan pembuktian yang Alfero lakukan tak berhasil membuat bundanya percaya. Fatimah tau putranya tengah mengalami masalah. Dan Fatimah juga tahu bahwa putranya tak ingin membagi beban yang dia rasakan dengannya.

Wanita itu menghela napas. Dia mempererat pegangannya pada bungkusan-bungkusan kresek yang ia bawa sebelum akhirnya meninggalkan lingkungan mall dan berjalan menuju ke parkiran.

***

Nano mengernyit saat mendapati Dilly tengah berdiri di depan motornya. Mata gadis itu berair. Bajunya juga terlihat sedikit kusut.

"Flo, gue cariin lo daritadi tapi lo malah disini. Lo kenap--" belum selesai cowok itu berbicara, Dilly langsung membaur ke pelukan cowok itu. Nano yang tadinya terkejut hanya diam. Cowok itu tak merespon apapun. Hingga kemudian tangannya ikut terangkat untuk mengusap pundak gadis itu agar membuatnya tenang.

Setelah dirasa cukup, Dilly melepas pelukannya. Mata gadis itu memerah.

"Sorry, baju lo basah."

Nano tersenyum tipis, "Gak masalah, gue bisa beli lagi." ucapnya jumawa.

"Halah, tai! Orang beli celana pendek aja pake uang bokap! Pake gayaan segala lo" Nano mencibir. "Lupa ya, lo pernah gue beliin sepatu adidas ori njir. Dan itu hasil dari ekskresi kulit gue ya!"

Dilly tertawa pelan. "Gue heran, sepreman-premannya lo, lo bisa nangis juga ya." Dilly merengut. Tangan gadis itu melayang bersiap memukul lengan Nano. Tapi cowok itu berhasil menghindar. Hingga pukulan yang Dilly berikan, tak mendarat di tubuhnya.

"Wets, ganas banget sih, lo. Untung gakena," ucapnya pelan. Dilly merengut.

"Udah ah cepetan. Males gue lama-lama liat lo!" Nano tertawa pelan sebelum akhirnya ia menaiki motornya dan melajukannya dengan kecepatan yang cukup tinggi.

***

Hari ini Alfero tak makan banyak. Bisa terlihat dari nasi yang berkurang sedikit di piringnya. Jika biasanya nasi itu akan selalu habis, tapi kali ini berbeda.

Alfero tak nafsu makan. Ya, setidaknya itulah yang Fatimah tangkap saat ujung matanya tak sengaja mencuri pandang ke arah sang putra. Fatimah tidak marah kalau masakannya tidak dimakan. Dia hanya khawatir akan beban yang putranya rasakan.

"Bunda, Fero ke atas dulu ya. Mau istirahat." Fatimah mengangguk. Iris matanya tak henti menatap sang putra hingga punggungnya menghilang di balik pintu.

Fatimah menghela napas. Setelah selesai makan, wanita itu mengemasi semua yang ada di meja. Sisa makanan ia tutup kembali, dan yang bersisa di piring ia buang ke tempat sampah.

HurtedWhere stories live. Discover now