06 - Terimakasih, bintang.

625 57 0
                                    

"Flo, obengnya manaaaa!"

Dari arah depan terdengar suara Nano yang berteriak memanggil Dilly. Hari ini bengkel mereka ramai. Dan bisa dipastikan, Nano dan Dilly yang berjaga berdua di bengkel langsung kalang kabut sendiri. Satu belum selesai, satu lagi datang. Dan itu membuat keduanya kerepotan.

"Di bawah meja, Nan!" balas Dilly sambil menyeruput kopi hitam miliknya.

Nano beranjak. Cowok itu membenarkan bajunya yang kusut. Noda dari oli dan bensin pun berhasil mengotori bajunya. Rambut cowok itu juga berantakan dan berbau asap.

Setelah mengambil obengnya, Nano berjalan ke belakang. Cowok itu mendengus kasar saat termos kecil yang berisi kopi miliknya yang ia bawa dari rumah itu tengah habis setengahnya karena Dilly.

"Eh, buset. Gue belum minum kopinya njir. Udah habis aja!" Dilly membersihkan noda kopi di bibirnya. Setelahnya gadis itu berdiri. Dia membenahi topi hitam miliknya lalu berjalan ke arah Nano.

"Sst, berisik lo. Eh gimana mobilnya? Udah bisa belum? Mesinnya rusak parah?"

Nano mencibir. "Gue bongkar itu semuanya." jawabnya ketus. Dilly tertawa. Gadis itu berjalan ke depan untuk melanjutkan pekerjaannya yang tadi sempat tertunda.

***

Selesai dengan pekerjaannya, Dilly langsung menghempaskan pantatnya ke sofa kecil yang ada disana. Dirinya begitu lelah karena seharian ini penuh dengan pelanggan.

Sementara Nano masih menghitung uang dari total hasil kerja mereka hari ini. "Wets, hasilnya lumayan banyak, Flo. Alhamdulillah." ucapnya bahagia. Nano mengunci uang yang ia dapat ke dalam brangkas mmlik ayahnya.

"Berhubung hari ini bengkelnya ramai, lo gue traktir. Bebas. Lo mau kemana pun terserah." Dilly melirik sekilas.

"Enggak ah, gue males. Tambahin aja uangnya ke gaji gue,"

"Gaji lo tetep nambah. Lo tenang aja. Dan untuk soal traktiran, itu juga atas perintah papa. Udah sih, lo nurut aja. Lagian hari ini, dirumah gue enggak ada makanan apapun. Lo juga enggak bisa masak kan, ya?" tanya Nano dengan senyum jahilnya.

Dilly melirik sinis, "Bisa. Masak batu bata." Nano tertawa.

"Lo mandi gih. Gue ajak lo jalan. Gue tau lo pasti bosen tiap hari minum kopi sasetan. Yakan?"

Dilly mengangguk. "Starbucks loh, ya. Sama JCO pokoknya." Nano tertawa.

"Idih, mana ada karyawan yang morotin bosnya. Pake request lagi!"

"McD, Dunkin donut's, hokben, pokoknya gue mau semuanya," Nano tertawa lagi. "Lo emang jago morotin uang gue, Flo!" ucapnya yang diiringi dengan tawa keduanya.

***

Nano benar-benar menenuhi janjinya. Dia mengajak Dilly ke semua tempat yang gadis itu sebutkan. Entahlah. Yang Nano tahu, dia ingin membuat gadis itu bahagia. Nano ingin Dilly bisa melupakan sejenak masalahnya. Nano paham jika Dilly tidak ingin bercerita, dan lewat hal-hal yang Dilly minta untuk ia turuti, Nano berharap gadis itu bisa bahagia.

"Gue kenyang."

Nano tersenyum. Cowok itu menatap Dilly yang kini berada di depannya.

"Kita belum ke Hokben dan Dunkin Donat's lo, Flo. Udah kenyang aja, lo!" Dilly merengut. "Males, ah. Gue ngantuk, Nan. Mau pulang. Enggak jadi deh kesananya." Nano tertawa.

"Yakin? Mau dibungkus enggak?"

"Gak mau ah." Nano tersenyum sebelum akhirnya berdiri. Cowok itu membayar makanannya lalu pergi.

"Langsung pulang apa keliling dulu, Flo?" Dilly menatap Nano sekilas sebelum akhirnya bergumam pelan. Matanya benar-benar berat. Ingin sekali dia menghempaskan tubuhnya di atas kasur lalu tidur.

"Langsung balik aja deh, gue ngantuk."

Nano mengangguk. Cowok itu menstarter motornya sebelum akhirnya melajukan motornya dan kembali pulang.

***

Dilly memgernyit saat mendapati Nano yang malah membuka laptop miliknya di tengah malam.

"Gue tadi dapet whatsapp dari temen gue, katanya dia udah ngirim materi lewat email untuk gue kerjakan. Deadlinenya lusa. Dan berhubung kita tiap pagi ngurusin bengkel jadi ya enggak bisa ngerjain. Dan mau enggak mau, malem adalah waktu yang tepat."

Dilly terdiam. Meskipun rasa kantuknya memenuhi dirinya tapi rasa penasarannya melebihi segalanya. Gadis itu berjalan menuju sofa dimana Nano duduk. Dilly menatap puluhan lembar materi yang cowok itu salin di microsoft word. Dilly meringis. Setelahnya dia mengalihkan pandangannya ke arah Nano yang tengah serius menatap materi yang ada di laptopnya.

"Kuliah itu sulit enggak, sih?" mendengar satu pertanyaan yang ditujukan ke arahnya, Nano menoleh.

"Enggak, kok."

"Capek enggak sih kamu tiap hari dikasih tugas seperti itu?"

"Gimana ya? Kalau capek sih, iya. Tapi udah biasa sih. Jadi ya enggak terlalu dipikir." Nano menggerakkan jarinya untuk mengedit dan menambahkan beberapa kata yang baginya perlu untuk ditambahkan.

"Kenapa sih nanya begitu?"

"Enggak. Gue kepo aja. Gue pernah denger curhatan anak yang benahin kendaraan mereka di bengkel, katanya mereka sering gak tidur gara-gara ngerjain tugas. Lo sering enggak kayak gitu, Nan?"

Nano menoleh. Cowok itu mengangguk, "Sering. Malah kadang pulang malem habis praktek langsung malamnya nugas sampai pagi." Nano menjeda ucapannya. Cowok itu menghentikan aktivitas mengetiknya untuk sejenak. "Ya seperti itulah seorang mahasiswa. Lo pasti ngerasain deh kalau mutusin lanjut kuliah. Susah senengnya seorang mahasiswa lo pasti ngerti."

"Enggak ah, gue enggak minat. Gue--"

"Gue apa? Gue bodoh?"

Dilly terdiam. Gadis itu menunduk dalam. "Flo, apa sih yang ngebuat lo ngejudge diri lo sendiri bodoh dan enggak mau lanjutin pendidikan? Selama ini, gue selalu nanya lo dan alasan lo selalu sama. Gue bodoh. Flo, di dunia ini enggak ada yang namanya  orang bodoh. Semua orang itu pinter. Tuhan menciptakan semua orang dengan otak yang sama. Soal pintar atau enggaknya seseorang itu diukur dari kemauannya untuk berubah atau enggak. Jika dia mau bekerja keras dan berdo'a, Tuhan pasti akan merubah hidupnya. Dan biasanya mereka yang sukses adalah mereka yang mau ngambil resiko. Bukan malah putus asa seperti ini." Nano menatap dalam gadis yang ada di hadapannya. Cowok itu menghela napas panjangnya.

"Gue emang enggak pernah tau masalah apa yang pernah lo alami hingga ngebuat lo menyerah seperti ini. Tapi seperti yang gue katakan kemaren, gue siap jadi bintang untuk lo. Gue siap nemanin lo kapanpun. Dan gue siap jadi tenaga untuk ngedorong dan selalu ngasih semangat ke lo agar lo sukses." Dilly mendongak. Mata gadis itu berkaca-kaca.

"Thanks, untuk semuanya. Tanpa lo mungkin gue enggak bakalan seperti ini. Tanpa lo gue bakal selalu kenal apa itu sunyi. Dan sendiri mungkin temen gue yang selalu setia menjadi teman gue. Sekali lagi, thanks, Nan. Tanpa jasa lo dan papa lo, mungkin gue gak seberuntung seperti sekarang."

Nano tersenyum pelan. Cowok itu mengangkat salah satu alisnya, "Jadi?"

Dilly mengernyit. "Jadi? Jadi apa?"

"Udah mantepkan mau kuliah?"

Dilly tersenyum tipis. "Gue bakalan pikirin dulu. Ntar gue bakal hubungin lo kalau gue butuh bantuan."

Nano tersenyum. Cowok itu mengedipkan salah satu matanya. "Oke! Sip!" ujarnya diiringi tawa khas milik cowok itu.

Malang, 18 April 2019

Next?! Kuy lah komen!

HurtedWhere stories live. Discover now