CT1: Brixton, Berbaikhatilah Padaku!

1.5K 50 5
                                    

-----------

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

-----------

Aku sampai di bandara Heathrow jam enam pagi waktu London. Sengaja memilih jadwal penerbangan malam hari waktu Indonesia agar aku bisa tidur sepanjang perjalan setelah transit di negara tetangga. Nyatanya, aku terjaga sepanjang malam, terus-menerus memikirkan banyak hal.

Kecuali Wildan dan segala hal mengenai sepak bola, aku benci London. Aku tidak pernah menyukai London sejak hari menyedihkan itu. Aku bahkan sempat menentang Wildan yang ingin melanjutkan kuliah di London dan menjanjikan pada diri sendiri bahwa aku tidak akan pernah lagi menapakkan kaki di kota ini. Aku tidak berhasil menangani Wildan yang sejak setahun lalu tinggal di London dan menempuh pendidikan di University College London. Payahnya, aku juga tidak bisa menjaga janjiku sendiri.

Aku bisa mengategorikan perjalanan ini sebagai keterpaksaan sebab aku sungguh tidak menginginkannya. Tidak untuk alasan apa pun. Terlebih, aku tampaknya akan tinggal di London dalam waktu yang lama, mengemas semua kehidupanku yang menyenangkan di Indonesia. Berat sekali melakukannya. Aku terlalu mencintai negara tempat aku dilahirkan. Tapi, aku harus melakukannya. Mati-matian aku membujuk diriku bahwa perjalanan ini adalah sebuah keharusan. Ya, keharusan. Di sinilah aku akan menjalani pengobatan.

Aku sakit. Aku tidak percaya aku sakit. Itu baru kuketahui seminggu yang lalu. Bermula dari aku tiba-tiba kolaps di tengah lapangan ketika sedang bermain sepak bola. Pada pertandingan persahabatan antarkelas itu, aku bertubrukan dengan temanku, dadaku kena sikut. Aku tidak mengira itulah penyebab aku pingsan. Sebelum pertandingan pun, aku sudah merasakan perbedaan pada tubuhku yang lebih lemas dari biasanya, bahkan perbedaan itu telah kurasakan sejak beberapa hari ke belakang. Namun, dari situlah semua kecurigaan berawal.

Buntut dari kejadian itu, Mama meminta dadaku dirontgen. Aku menganggap itu lelucon lantaran tidak merasakan sakit yang berarti pada bagian itu. Lagi pula, benturannya tidak terlalu keras. Setelah hasilnya keluar, Mama mengabari pencitraan itu menunjukkan dadaku baik-baik saja. Anehnya, aku justru diminta Mama melakukan pemeriksaan lanjutan di rumah sakit yang lebih besar di Jakarta, tempat pamanku, Om Firman bekerja.

"Aku tidak mau pergi jika tidak tahu mau diapakan." Saat Mama memintaku, aku sedang tiduran. Kuputar tubuhku hingga membelakangi Mama sebagai bentuk protes. Aku mulai curiga Mama tidak sepenuhnya jujur. Jika hasil x-ray itu normal, aku tidak mungkin diminta melakukan pemeriksaan lanjutan.

"MRI." Mama menjawab singkat. Tak mau menunggu pertanyaanku selanjutnya, Mama keluar.

Aku mengambil ponsel. Bukan untuk meminta penjelasan pada Om Firman. Aku memiliki opsi lain untuk mencari tahu. Aku tidak yakin Om Firman bersedia membagi informasi setelah Mama bersikap demikian. Aku mengetikkan sebuah klimat pada kolom pencarian mesin pencari. Aku menemukan berbagai penyakit yang berhubungan dengan organ di dalam rongga dada. Dari sekian banyak, aku menaruh perhatian pada penyakit yang berhubungan dengan paru-paru. Aku mencari informasi yang berkaitan dengan itu sebanyak mungkin.

Chasing TomorrowWhere stories live. Discover now