CT23: Rahasia Wildan

106 9 0
                                    

Aku sempat melupakannya. Tidak saat aku melihat wajah Dad. Ingatanku segar kembali. Malah, aku dapat memutar dengan lancar percakapan kami di rumah sakit beberapa minggu yang lalu, seperti semuanya baru saja terjadi.

“Aku tidak mau menjalani semua pengobatanku jika masih ada yang belum kuketahui.”

Dad menghela napas. Resah yang membalut wajahnya menebal. Sesaat, tatapannya di lemparkan ke sembarang arah sebelum menemukan cangkir kopinya yang masih penuh. Ia mengambil cangkir itu, menghirup kopinya—kuyakin—tanpa benar-benar menikmatinya.

Aku tahu Dad tidak menyinggung topik ini lantaran Dad tidak ingin aku membahasnya. Pastilah Dad ingin supaya aku melupakannya. Sayangnya, untuk hal-hal penting, mengingatnya menjadi sebuah konsekuensi yang tidak terelakkan, kecuali aku mengalami amnesia.

“Wesley sudah mengatakan semuanya, Adam.” Dad meletakkan kembali cangkirnya. Dengan ibu jarinya, ia mengusap sisa kopi di bawah bibirnya.

“Wes tidak menyebut besaran utang Dad untuk keperluan pengobatanku. Apakah seharga satu restoran Dad? Tiga mungkin? Atau—”

“Adam—”

“—semuanya?”

“Adam, urusan itu biar menjadi urusan Dad sebagai orang tua, oke. Kamu jangan memikirkan apa pun soal itu. Cukup lakukan semua yang dianjurkan Dokter Daniel. Jalani pengobatanmu sesuai prosedur. Itu sudah menjadi balasan yang setimpal untuk Dad, Adam.”

“Kemoterapi, radioterapi, pembedahan, transfusi, berbagai macam obat, rawat inap, bahkan oksigen,” aku meringis begitu menyebut yang terakhir. Bahkan untuk bernapas pun, aku memerlukan biaya. “Wes benar. Aku hanya akan membuat Dad bangkrut.”

“Tidak begitu, Adam.”

“Aku sudah menghitung biaya pengobatanku sejak pertama kali. Aku tidak yakin itu sudah semuanya, tapi nominalnya sudah sangat besar.”

Dad mohon kamu berhenti memikirkan soal itu.”

“Lebih baik berhenti sekarang daripada akhirnya Dad menyesal karena semuanya sia-sia.”

Dad menggeleng tegas. Pembicaraan ini akan sulit mencapai kesimpulan. Baik aku maupun Dad rupanya sama-sama keras kepala.

“Itu keliru, Dam. Dad tidak akan menyesal dan semuanya tidaklah sia-sia. Jikapun Dad harus menghabiskan semuanya supaya kamu sembuh, Dad akan lakukan, Dam. Itu juga untuk kebahagiaan Dad.”

“Tetapi, aku tidak suka Dad melakukan itu. Wes, Wil, dan Yasmin juga berhak atas materi dari Dad. Bukan hanya aku.”

Dad menghela napas sekali lagi, lebih panjang. Kurasakan tatapannya menyorotku, tapi aku tidak berminat membalasnya. Dad mengamatiku dengan mulut terkatup rapat. Detik demi detik, tidak ada sepatah kata pun yang kudengar dari Dad.Ia menjeda cukup panjang.

“Satu pertanyaan, Dam. Apakah kamu benar-benar tidak ingin sembuh?”

Aku yang sudah diam, menjadi lebih diam lagi. Pertanyaan Dad dengan hebat menyingkirkan semua yang tengah kupikirkan untuk menguasai kepalaku seutuhnya.

Dad akan menghentikan pengobatanmu jika kamu tidak ingin sembuh.”

Baiklah. Aku kalah.

Pertanyaan Dad membangkitkan sebuah kejujuran yang teredam. Ironi yang terbangun dalam perasaanku sekarang. Keinginan untuk sembuh itu ada kendatipun aku tidak ingin menyaksikan kebangkrutan Dad setelah menghabiskan hartanya demi mengusahakan kesembuhanku. Kenapa aku harus dihadapkan pada kenyataan mengesalkan begini? Bukankah ini seperti aku sedang menjilat ludahku sendiri?

Chasing TomorrowWhere stories live. Discover now