CT11: Heart to Choose

245 8 0
                                    

-----------

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

-----------

Aku memerhatikan sebuah liontin yang Yasmin temukan di kamar Wildan. Yasmin berpikir liontin itu milik Catie, tertinggal waktu Catie menginap. Dia memberikannya padaku sambil memperlihatkan senyum mengejek. Aku tahu alasannya setelah aku membuka liontin berbentuk oval itu. Pada salah satu sisinya ada foto aku dan Catie, sisi lainnya ditempeli fotoku. Hal kecil yang menegaskan kesimpulan yang kutemukan.

Aku menyimpannya sudah seminggu lebih. Hari ini, aku memutuskan untuk mengembalikannya. Catie justru belum juga kutemukan. Dia tidak tampak di sudut mana pun, membawaku kembali ke lobi. Sepuluh menit berlalu, aku masih celingukan. Dua puluh menit, aku mulai mengeluarkan ponselku-mungkin ada panggilan atau pesan dari Catie yang terlewat. Tidak ada. Setengah jam, aku beranjak ke ruangan Dokter Daniel. Mungkin Catie sibuk mengerjakan sesuatu di sana.

Benarlah, Catie ada di ruangan ini. Namun, dia tidak disibukkan oleh pekerjaan. Dia tertidur. Kepalanya terkulai di meja kerja Dokter Daniel, diganjal kedua tangannya. Aku duduk di kursi yang beberapa kali kutempati. Kuperhatikan figurnya yang tak bergerak. Dia terlihat letih. Napasnya teratur, menggerakkan rambutnya yang berantakan di depan wajahnya. Pelan-pelan, aku merapikan rambutnya, menyelipkannya ke belakang telinganya. Kutatap bola matanya yang terpejam. Sorot mata itu, yang selalu bersinar setiap menatap, aku tidak ingin kehilangannya. Aku masih membutuhkan sinar semangat itu.

Aku membebaskan diriku saat menatapnya, dalam arti aku tidak mengekang rasa apa pun yang dapat menguasaiku. Apa pun yang coba kupahami, kubiarkan utuh merasuk ke dalam benakku. Getarannya yang hebat memaksaku berpikir keras. Lama. Harus kusingkirkan egoku, segalanya yang menyulitkanku jujur terhadap diri sendiri. Sebuah kesadaran yang menghantam kepalaku, membuatku tertunduk.

Sebagian hatiku telah kutinggalakan pada seorang perempuan di Indonesia. Puluhan ribu kilometer jauhnya. Bengisnya jarak tak cukup kuat mengikis cinta yang mengisi setiap sel hatiku. Sebaliknya, perasaan itu membelah setiap waktu, membuatnya semakin raksasa. Aku serius soal itu. Tapi, aku juga tak bergurau menjalani pertemanan dengan Catie. Perhatian dan kepedulianku sungguh bukan kebohongan. Aku mungkin butuh waktu untuk menyadarinya. Sekarang aku tahu kebenaran yang sejati, sesuatu juga merekah dalam hatiku, untuk Catie.

Aku yang mengerti batas-batas pertemanan. Aku yang memahami sampai sejauh mana boleh bertindak. Perasaanku tidak. Disadari atau tidak, perasaan bergerak semaunya, menabrak apa-apa yang menghalangi. Batas itu semu bagi perasaan. Kadang perasaan mengambil kendali diri sehingga aku mendadak bodoh atas apa-apa yang kupahami, yang menjadi prinsipku. Catie, aku memiliki rasa untuknya, lebih dari yang pantas dimiliki oleh seorang teman. Aku mencintainya.

Lalu, apa artinya aku telah berkhianat? Tenggorokanku tercekat, hilang kemampuan untuk menjawabnya. Kenyataannya, aku tetap menjaga cinta untuk seseorang yang jauh di sana. Dapat kurasakan cinta itu berdenyut dalam setiap detak jantungku. Namun, perlu kuakui di dalam hati yang sama juga tumbuh cinta untuk Catie. Aku tidak bisa mengatakan cinta yang kedua itu lebih lemah sebab getaran rasa bersalah karenanya terasa kuat sekali. Apakah ini suatu hal yang benar, ada dua cinta dalam satu hati? Aku menggeleng tegas. Itu tidak seharusnya terjadi.

Chasing TomorrowWhere stories live. Discover now