CT2: Berjarak

496 38 0
                                    

---------

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

---------

Aku melongokkan pandangan ke luar jendela mobil yang dikemudikan Dad. Ketika melihat beberapa remaja seusiaku berjalan beriringan sambil mengobrol, aku terdiam. Aku tidak tahu tujuan mereka. Tapi, pemandangan itu membawa ingatanku mundur. Aku teringat dengan Indonesia dan semua yang kutinggalkan di sana. Kamarku, sekolah, teman-teman, dan tentu saja seseorang yang aku rindukan setiap detik sejak terakhir kali aku melihatnya. Aku memejamkan mata, menahan kenangan yang hendak menerobos ke luar.

Sayup-sayup, musik yang baru saja diputar Dad sampai ke telingaku. Aku menajamkan telinga demi mengenali melodi yang dimainkan itu. Aku mengerutkan kening satu detik berikutnya. Tidak salah lagi, yang kudengar adalah suara Duta 'Sheila On 7' membawakan salah satu lagu kesukaanku sepanjang masa, 'Itu Aku'. Kutebak Dad menghabiskan beberapa jam waktunya untuk mengumpulkan lagu-lagu dari band kesukaanku alih-alih memperdengarkan lagu-lagu barat padaku.

"Dad ingat saat kamu menyanyikan lagu itu keras-keras, tidak peduli Wildan sedang belajar."

Aku sepintas menoleh Dad, menemukan bibirnya melengung sedikit. Aku malas mengingat waktu terakhir kali perbincangan antara aku dan Dad berlangsung menyenangkan. Sekarang ini, aku memprediksi apa pun yang akan menjadi bahan perbincangan kami, tidak akan berjalan dengan baik.

"Kamu masih marah, Dam?" Dad berusaha melirikku secara langsung.

Aku masih melempar pandang ke luar, kutambahkan dengan sekalian memutar wajahku sehingga Dad hanya bisa mendapati telingaku. Pertanyaan macam apa itu? Bagaimana mungkin aku tidak bisa marah padanya, setiap detik dalam hidupku, setelah Dad memberiku sepotong kisah kelam untuk kukenang sepanjang hidupku?

Detik demi detik selanjutnya berlalu dengan lengang. Setidaknya, lirik-lirik syahdu 'Itu Aku' masih memantul-mantul di telingaku, mengusir jenuh yang mulai mengakar.

"Dad minta maaf."

Aku memejamkan mata sesaat. Rasanya, aku ingin menenggelamkan diri ke dalam pakaianku, menghilang dari pandangan Dad. Aku tidak suka pembicaraan ini. Aku membenci setiap kata yang Dad ucapkan. Tapi, semua yang dapat kulakukan tidak akan serta-merta membuat Dad menutup mulutnya, menyudahi omong kosong tidak berguna ini.

Aku masih menatap bahu jalan yang tidak menarik itu, lalu kubiarkan sebuah kalimat terucap, "Mama memintaku memaafkan Dad."

"Kamu berencana akan menurut?"

Lagu itu habis. Masuk lagu kedua, dari musik awalnya, aku dapat mengenali masih lagu milik band favoritku. Sayangnya, percakapan ini mejadi pencemar bagi lagu yang kudengar. Aku tidak bisa merasakan gairah yang menggebu saat mendengarnya. Hambar saja.

"Mama memberiku pilihan yang sama saja dengan tidak memberiku pilihan."

"Kamu terpaksa memaafkan Dad?" Muram dalam suaranya terdengar sangat jelas. Salahnya, aku bukan orang yang mudah tersentuh dengan hal semacam itu. Aku tidak seperti Wildan atau Yasmin, adik perempuanku. Aku sedikit lebih keras dari mereka soal urusan ini.

Chasing TomorrowWhere stories live. Discover now