CT19: Father and Son Time

156 13 0
                                    

Aku tidak pernah berpikir akan menjalani yang orang sebut ‘Father and son time’. Tidak, pun setelah aku berbaikan dengan Dad. Aku tidak memaksakan situasi—seperti berubah menjadi sangat manis pada Dad. Aku membiarkan hubungan kami berjalan secara perlahan; dan natural. Tapi, di sinilah sekarang aku berada, aku menemukan diriku bersama Dad di tepi danau menghadap kanvas masing-masing.

Permukaan air danau tampak berning dan berkilauan ditimpa cahaya matahari. Sesekali kawanan ikan yang berhabitat di danau itu muncul mendekati permukaan. Angin bersemilir, mengombak permukaan danau, menggerakkan ranting dan rerumputan, memeluk tubuh dengan kesejukan. Kicau burung bergema, beradu merdu dengan alunan biola yang dimainkan oleh seseorang yang bersandar pada batang pohon ek. Seharusnya, pemandangan begini mampu memberikan ruang untuk sebuah inspirasi.

“Hari itu, Dad berselisih dengan Grandma dan Grandpa karena mereka memaksa Dad menikahi putri dari sahabat mereka, hanya tiga minggu setelah Annabeth menghilang dalam sebuah kecelakaan bus di Frankurt.”

Aku sontak beralih dari kanvas, menoleh Dad yang pandangannya fokus pada bentuk sebuah bangunan yang tengah dilukisnya. Aku curiga, ini tujuan Dad sebenarnya mengajakku melukis di sini, menceritakan perkara itu. Biasanya, aku pergi sebelum Dad mengakhiri permulaan cerita. Kali ini aku bertahan, memberinya kesempatan untuk menjelaskan. Mungkin dengan begitu, aku dapat benar-benar menerima semua yang telah terjadi sehingga aku tidak perlu hidup dengan menyimpan kebencian pada masa lalu.

Dad pergi ke Indonesia. Berbulan-bulan tinggal di Jakarta, Dad pindah ke Bogor dan memulai bisnis kuliner di sana. Di sanalah Dad bertemu dengan Om Firman, sebelum bertemu dengan Mamamu.”

Aku menggoreskan pensil di atas kanvas, membentuk seekor burung yang tengah merentangkan kedua sayapnya. Telingaku menajam, menyimak setiap kata yang Dad ucapkan.

Dad jatuh cinta pada Mamamu. Ya, waktu itu Dad mengatakan Dadsingle. Memang itulah yang Dad ketahui saat itu. Dad tidak tahu Annabeth selamat, begitu pula bayi yang sedang di kandungnya sampai belasan tahun kemudian, saat pertama kali Annabeth mendatangi Dad.”

Aku menghela napas. Sepotong kisah itu sudah kuhafal. Namun, aku tidak berniat menyela Dad, memilih fokus pada sayap yang tengah kugambar.

“Saat itu pulalah Dad tahu bahwa selama Dad berada di Indonesia, kehidupan Grandpa dan Grandma berantakan. Bisnis mereka hancur karena sahabat mereka—yang anaknya sempat akan dinikahkan dengan Dad mencurangi perusahaan. Grandma dan Grandpa kehabisan harta sehingga mereka memutuskan pindah ke Bremen, menumpang hidup pada Uncle Harold. Tapi, istrinya memperlakukan Grandpa dan Grandma dengan buruk.

“Suatu hari, Grandma yang terlalu frustrasi berniat meloncat dari sebuah apartemen. Di situ, untuk pertama kali setelah bertahun-tahun, Grandma bertemu dengan Annabeth yang kala itu menggagalkan percobaan bunuh diri Grandma. Ternyata, Annabeth juga tinggal di apartemen itu. Mereka tidak saling mengenal sebab Annabeth mengalami amnesia. Terjadi percakapan panjang yang berlanjut di hari-hari berikutnya. Akhirnya, Annabeth percaya, dia adalah menantu Grandma dan Grandpa. Maka, Grandpa dan Grandma mengantar Annabeth dan Wesley—yang berumur sembilan tahun—kepada orang tua Annabeth.”

Aku menghentikan gerakan pensilku. Pikiranku sedang berusaha mencerna ucapan Dad. Aku mulai memahami jalan pikiran Dad. Meskipun aku tidak menyukai Annabeth, harus kuakui yang dilakukannya pada Grandma patut dibalas lebih dengan sekadar ucapan terima kasih.

“Dari situ semuanya bermula. Orang tua Annabeth membantu Grandpa membangun bisnis kembali sambil mereka berusaha menemukan Dad. Kamu tahu yang terjadi selanjutnya. Kemarahan Annabeth pada Mamamu, sampai peristiwa pembakaran itu, Dad sangat menyesalinya.” Dad sejenak melirikku.

Chasing TomorrowWhere stories live. Discover now