CT9: Di mana Kamu?

210 10 0
                                    

-----------

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

-----------

“Jaga kesehatanmu. Jangan membantah Wildan!” Mama mendekapku erat.

Aku hanya mengangguk. Tidak berani menjanjikan dengan kata-kata. Tidak mungkin aku tidak membantah Wildan.

“Sampai bertemu lagi.” Mama menatap aku, Wildan, dan Yasmin beberapa lama lagi. Pasti berat baginya menjauh dari semua anaknya untuk kembali ke Indonesia. Aku membujuk Mama supaya tetap tinggal dengan kami. Tidak disetujui. Aku paham. Mama memiliki lebih banyak alasan untuk membenci kota ini.

Panggilan untuk penumpang tujuan Jakarta disuarakan lagi. Mama dengan berat berbalik, melangkah menjauh dari kami.

Aku menatap punggung Mama hingga hilang dari pandangan. Dua minggu yang singkat. Entah berapa bulan lagi aku akan bertemu kembali dengan Mama. Rasanya, waktu tiba-tiba merangkak lambat. Aku harus menunggu lama untuk mengulang momen kebersamaan dengan Mama. Terlebih untuk datang ke Indonesia.

Satu minggu di Indonesia bagai satu kedipan mata saja. Cepat. Aku gagal memanfaatkan waktu singkat itu kendati aku tidak melupakan sedikit pun bagian terpenting yang menjadi alasan kepulanganku. Aku lebih banyak menghabiskan waktu di Jakarta, merayakan pernikahan Mery. Aku mendapat kesempatan bertemu dengannya. Namun, seperti satu tahun yang lalu, aku hanya mampu menatap wajahnya, mendengarkan suaranya, tanpa sanggup mengeluarkan kalimat-kalimat yang telah kubangun dengan megah dalam kepalaku. Banyak yang kukatakan, tapi hal itu tak pernah terucap. Malah, tanpa berpikir panjang, aku membuat janji dengannya. Dan aku harus menunggu setidaknya sampai satu tahun hingga janji itu dapat kutunaikan.

Akhirnya, aku kembali ke London dengan setengah hati yang masih kutinggalkan di Indonesia, untuknya. Dia tidak perlu tahu. Kendatipun, dia sudah memiliki hatiku tanpa perlu aku memberikannya, biarlah pelan-pelan ia menguburnya. Tentu saja itu adalah hal yang paling tidak kuinginkan. Namun, kadang kita lebih baik hidup tanpa mengikuti keinginan, menekan egois dan mendahulukan kepentingan orang lain. Kadang, bagian paling bijak di dalam diriku mengklaim keputusanku seratus persen tepat meskipun perasaanku menolak mentah-mentah. Dia berhak memiliki masa depan yang pasti. Sementara kepastian bagiku adalah sel kanker itu terus tumbuh, membesar dalam tubuhku.

Aku masih harus terperangkap di rumah sakit, kembali mengikuti kemoterapi setelah radioterapi juga tidak memberikan hasil yang baik. Kubiarkan cairan obat itu bereaksi dengan tubuhku. Entah seganas apa perlawanan yang akan dilakukan sel-sel kanker itu. Aku hanya bisa berharap obat yang masuk ke dalam tubuhku kali ini lebih hebat dari sekadar merontokkan rambutku, serta mengurangi laju pembentukan sel darah sehingga aku selalu lemas, bahkan kadang membutuhkan transfusi.

Jika harus jujur, aku sudah lelah dengan segala omong kosong pengobatan ini. Bosan dengan segala rasa sakit yang harus kutanggung. Letih atas rasa bersalah memikirkan semua uang yang Dad habiskan untuk semua ini. Hanya sedikit keyakinan yang membuatku bertahan. Keyakinan yang sebenarnya kudapat justru dari orang-orang di sekitarku, termasuk Yasmin.

Chasing TomorrowWhere stories live. Discover now