Melangkah

460 35 2
                                    


Sebelum menginjak bagian dua, penulis hendak mengucapkan terima kasih karena sudah berkenan membaca. Cerita Belantara adalah mayoritas uneg-uneg yang kurang bisa saya sampaikan lewat media apapun, dengan membacanya, berarti kalian sudah cukup mengerti pesan tersirat dalam karya saya satu ini :)

***

Jingga terperanjat, informasi itu terlalu mendadak. Lantas siapa yang menjaga eyang ketika ia jauh? Penelusuran sosial biasanya dilakukan beberapa pekan, bahkan bisa memakan waktu selama berbulan-bulan. Jingga ingin menolak, namun tidak mungkin dia membiarkan Aksa sendirian.

"Enggak bisa nunggu eyang sembuh?"

"Urusan eyang, aku sudah meminta dokter spesialis untuk rutin memeriksa di rumahmu selama kita pergi."

"Tapi—"

"Kau itu calon psikolog, Jingga. Harus percaya semuanya pasti baik-baik saja."

"Berapa bulan kita di Aceh?"

"Jadwal normalnya lima bulan, tapi bisa kita percepat kalau mau kerja lebih keras."

Jingga mengembus napas berat. Seberat harus meninggalkan Yogyakarta untuk pertama kali dalam seumur hidupnya. Setiap semester dalam satu mata kuliah akan dihadapkan dengan tugas yang cukup menantang, sekalipun memang hanya beberapa universitas yang melakukan kebijakan tersebut. Tetapi Jingga sudah sepakat untuk masuk Psikologi. Sekalipun masih banyak kekurangan, ia ingin menjadi Psikiater. Membantu orang asing untuk lebih terbuka, menjadi mediator agar seseorang bisa berdamai dengan masalah-masalahnya. Memang tak seremeh itu, tapi Jingga suka diajak bercerita dengan orang-orang tertentu. Di sisi lain, mungkin psikologi kurang cocok dengan sifat introvertnya, harapan terbesar dari perjalanannya supaya mampu berinteraksi layaknya manusia normal.

***

Jingga membuka pintu rumah, lalu menguncinya kembali. Setelah meletakkan tas di ruang tamu, langkahnya mengarah ke salah satu kamar.

"Eyang, Jingga mau ke Aceh."

"Ngapain, sayang?" Eyang membelai rambut nya yang sepanjang bahu itu.

"Tugas kuliah yang paksa Jingga harus berangkat. Jingga enggak tega lihat Aksa kerja sendiri. Nanti biar Mbak Tika yang jaga eyang, ya."

Jingga memeluk wanita berumur lebih dari enam puluh tahun itu.

"Sebenarnya Jingga maunya di sini, jagain eyang. Enggak kemana-mana. Jingga takut eyang kenapa-kenapa."

"Kamu itu sudah jadi mahasiswa, masih saja cengeng. Eyang ndak apa-apa, nduk. Jaga diri, ya."

Malam semakin larut, Jingga menyandarkan kepalanya di jendela kamar yang terbuka. Angin dingin menusuk lewat celah kaus merah mudanya.

Tangannya menggeggam pena dan kertas. Menulis apapun yang ingin ditulis. Membiarkan lisannya bekerja pada secarik kertas, kemudian menyimpannya ke dalam kotak—namanya kotak dialog. Orang menyebutnya puisi, tapi Jingga lebih suka menyebut tulisan-tulisan itu sebagai alat komunikasinya pada bumi.

Surat Untuk Bumi,

Cahaya nirmala di ujung dunia,

Sepertinya tak punya tujuan mengapa dia terus menerangi

Dan pagi itu, seketika pulang adalah pilihan terakhir

Padahal rumah sederhananya hancur,

Sementara kakinya melepuh terlalu banyak menginjak aspal siang

Bumi, kau menyuruhku tinggal

BelantaraWhere stories live. Discover now