Suatu Hari Tanpa Kita

215 19 0
                                    

Ketika waktu menjadi pengejar utama seseorang sulit tinggal, kita akan mengambil keputusan yang berat, cepat atau lambat menyakiti dan disakiti pasti terealisasi.

Jingga menggunakan lensa ponselnya guna memotret es krim—sebagai penambah feeds pada media sosialnya. Sifat unik yang Bagas sukai darinya adalah jarang mengabadikan foto diri sendiri dan menyebarluaskan ke warganet. Kecantikan Jingga hanya bisa dinikmati ketika seseorang berkontak langsung dengannya.

"Gas, kita foto berdua, yuk!"

"Eh, sejak kapan jadi narsis begini?"

"Aku yang narsis atau kamu yang kaku kalau di depan kamera?" tanyanya balik.

Bagas seketika mendekap kepala gadisnya, satu pose berhasil tertangkap kamera ponsel. Berulang kali Jingga mengamati hasil foto mereka, alih-alih memberikan sedikit filter agar semakin estetik.

"Yogyakarta malam hari masih sama, ya."

"Tempat kita pulang selalu sama, Gas. Tapi enggak selalu hatinya juga masih sama."

Kedua bola matanya masih memandang padatnya pasar malioboro. Bagas menjadi kikuk, padahal agenda seperti ini yang dia inginkan seberes diperbudak kuliah dan gadis pilihan orang tuanya itu.

"Mbak, mas, ini rondenya..."

"Makasih, mas," balas Bagas menampa dua mangkuk ronde hangat.

"Kapan mau lanjutin kuliahnya?"

Jingga menggeleng tidak tahu. "Tujuanku memilih kuliah psikologi supaya menyenangkan Eyang, lalu sekarang siapa yang mau dibuat senang?"

"Tapi Jingga, kuliah itu penting."

Mangkuk yang masih utuh terbengkalai. Jingga memiringkan tubuhnya, kini mereka berdua saling berhadapan.

"Kuliah memang penting, tapi titik nyaman seseorang juga penting. Dan mungkin untuk sebagian orang menganggap kesenangan bisa dipungut dari dunia pendidikan, padahal bukan begitu. Aku senang ketika bisa mengarungi daerah asing, bersemayam di sana dan belajar hidup sederhana."

Jingga menceritakan semua pengalaman barunya saat tinggal di desa Canggai, tempat terindah sebagai penghilang stres. Bagas mendengarkan dengan seksama, sesekali mereka berdebat tentang kuliah itu penting atau sekadar buang-buang waktu.

"Di sana kamu sendirian?" celetuk Bagas sambil menyeruput ronde.

"Ada Aksa teman sekampus dan Pranata."

Bagas terbatuk, hidungnya terasa panas karena tersedak kuah.

"Pranata... siapa?"

"Aku juga bingung menjelaskan dari mana laki-laki itu hadir, yang jelas dia berbeda. Padahal kali pertama bertemu, aku sangat ketus padanya. Tapi Prana selalu memperlakukanku dengan baik."

Bagas meletakkan mangkuk di genggamannya. Jingga terlihat begitu menggebu menggambarkan sosok laki-laki yang terlihat akrab tersebut.

Benaknya mulai bertanya-tanya, sebaik apa sosok Pranata? Apakah kebaikannya di atas usahaku untuk membahagiakan Jingga?

Semakin larut semakin menyulitkan dua anak manusia melepaskan genggaman tangan. Bagas mengantar Jingga ke kediamannya, seberes memastikan bidadari kecilnya itu pulang dengan aman, langkahnya beranjak pergi. Namun, nama Pranata masih terngiang jelas hingga sedikit mengacaukan konsentrasi berkendara.

"Kenapa gue jadi khawatir berlebihan? Jingga masih milik gue, walaupun cuma tinggal beberapa hari dari sekarang."

Malam itu banyak tanda tanya yang menghantui, sedikit meruntuhkan hati. Tapi Bagas tak punya pilihan selain benar-benar meneruskan jejak langkahnya.

BelantaraWhere stories live. Discover now