Berbuat Banyak

242 24 2
                                    

Bagas meletakkan setumpuk kertas skripsinya di meja kelas. Tubuhnya yang gagah dan berisi duduk di salah satu kursi mahasiswa. Raut wajah yang dulunya sangat riang, kini mulai dipenuhi kerutan, menandakan betapa lelahnya menjadi mahasiswa di salah satu universitas ternama di Jerman. Sembari termenung cukup lama, ia mengeluarkan dompet yang terselipkan beberapa lembar foto. Kedua orang di foto tersebut mengenakan seragam SMA dengan gerakan berbeda-beda.

Senyumnya melengkung setiap memandang wajah gadis sebatas dua dimensi. Cerita mereka pernah lebih indah dari dua rasa anak manusia. Gadis yang teramat ia sayangi sebelum mereka saling kehilangan komunikasi, gadis yang berdarah asli Jawa tapi tak pandai berbahasa Jawa.

Kelas begitu sepi karena mata kuliah telah berakhir setengah jam yang lalu. Seseorang membuka pintu kelas, kemudian menghampiri Bagas yang masih sibuk memandangi foto.

Tio mengembus napas berat.

"Sampai kapan lo takut begini?"

Tio merupakan satu-satunya teman SMA yang menjadi mahasiswa di kampus yang sama, semakin hari semakin dekat dan berubah menjadi kerabat.

"Gue..."

"Jangan jadi pengecut, Man. Tiga tahun lo gantung anak orang."

Hampir setiap hari, celoteh Tio tak pernah berubah. Dia tahu serumit apa bila berbalik di posisi sahabatnya. Tapi ini bukan menyangkut perasaan satu orang saja. Dengan selalu menghindari keadaan, Bagas sadar ia semakin menjadi pengecut.

"Mungkin sekarang perasaan Jingga sudah berubah."

"Kemungkinan yang selau lo bilang itu, bisa jadi terbalik. Mungkin sekarang dia masih tunggu lo pulang, minta maaf, dan kembali sama-sama."

"Tiga tahun waktu yang cukup untuk dia lupa sama gue."

***

Empat puluh lima hari di Aceh Barat. Jingga memusuhi dirinya sendiri. Dia lebih memilih mengerahkan semua tenaga dan keahliannya di bidang kemanusiaan dari pada kembali pada dunia gelapnya.

Pagi yang cukup terik, karena hari minggu, sekolah Ngelmu Pring libur. Jingga bangun sedikit kesiangan, kepalanya terasa sakit karena jam tidur yang tak keruan.

"Pagi, tukang molor," sambar Aksa tiba-tiba masuk.

"Dih, baru sekali bangun siang,"

"Hari ini dari pada nganggur, kita bersih-bersih sekolah, mau?"

Jingga mengangguk malas, matanya mengerjap berulang kali pertanda masih ingin melanjutkan tidur. Tubuhnya segera beranjak dari kursi, meraih handuk di dalam tas lalu bergegas mandi. Langkahnya mendadak berhenti teringat sesuatu.

"Prana kemana?"

"Sudah mulai menyukainya?"

"Aksa!!!"

"Pagi-pagi itu yang dicari sarapan supaya kenyang, bukan laki-laki."

"Siapa juga yang cari orang kaku kayak dia!"

"Tapi usahanya supaya duniamu terisi enggak pernah gagal, kan?"

Jingga mengerutkan keningnya kesal, dia mengambil langkah cepat dan meninggalkan Aksa yang tengah tertawa keras.

Seberes menyesap teh hangat buatan bu Lilis, Jingga dan Aksa meminta izin berangkat ke sekolah. Beberapa hari terakhir cuaca sedang kurang kondusif, kadang sangat panas dan bisa tiba-tiba hujan disertai angin. Cuaca bumi dan konspirasi hati memang berbeda tipis, cerah-mendungnya tak bisa ditebak, sebentar terhibur sebentar lagi tersungkur.

Adalah orang-orang yang punya jiwa besar, merelakan segenap waktunya untuk mengabdikan diri pada negeri. Negeri yang katanya mulai digerogoti oleh timbangan keadilan dan pemerataan. Ya, mencintai tanah air bukan sekadar omong besar di media sosial; mencintai tanah air bukan sekadar berteriak "saya cinta Indonesia"; mencintai tanah air adalah tentang seberapa banyak kau berbuat untuk manusia di dalamnya.

BelantaraWhere stories live. Discover now