Arah Baru

156 15 0
                                    

"Bila rumah menyedihkan itu tempat ternyamanmu, kenapa harus beranjak ke tempat lain?"

***
Jingga merebahkan tubuh lelahnya pada tempat tidur. Belakangan ini sekalipun berada di tempat ramai, ada bagian dari dirinya merasa sangat kosong. Jingga mulai meraba bayangannya, kira-kira sedang apa Bagas di sana? Pasti dia tidak pernah merasa kesepian separah ini. Jelas, yang meninggalkan memang tidak pernah sama seperti yang ditinggalkan. Yang pergi bisa sesuka hati pulang kapanpun ia ingin kembali, berbeda dengan mereka yang sibuk menunggu tanpa bisa melakukan apapun. Andai kesempatannya berbalik. Andai Jingga yang ditunjuk Tuhan sebagai yang meninggalkan, mungkin di seberang sana hatinya tetap terkait untuk Bagas. Tapi hati bukan sesuatu yang bisa diandai-andaikan.

Jingga meletakan kotak dialognya pada meja kerja, menarik kursi yang satu komponen untuk menulis isi hatinya. Bila diperhatikan sekali lagi, banyaknya kertas di kotak tersebut semakin menumpuk. Kira-kira berapa banyak lagi limbah perasaannya itu setahun ke depan? Dia teringat ucapan Arumika, dimana sahabatnya itu tahu bahwa ada yang lebih ia sukai dari pada menjadi seorang psikolog. Mungkin benar, Jingga lebih suka tenggelam dalam tuisan-tulisannya sendiri. Ia menyukai lagu-lagu indie yang Prana tulis, lalu dinyanyikan dengan iringan gitar tua. Tidak ada keterkaitan antara dunia sastrawan yang ia miliki dengan jurusan perkuliahan yang dijalani.

Penulis. Itulah awal kata yang terbisikkan di telinganya. Menjadi penulis yang mengalahkan semua pekerjaan mapan di dunia. Berhenti ingin menjadi kaya, uang berlimpah, demi rasa nyaman dan menyampaikan sebuah pesan untuk banyak orang.

Bel pintu depan berbunyi, Jingga beranjak dari meja kerja ke ruang tamu. Seorang kurir surat berdiri di depan pintu.

"Dengan nona Jingga Harmala?"

"Saya sendiri."

"Ada surat untuk nona."

Kedua bola matanya membulat, tiba-tiba pikirannya tertuju pada Pranata. Diam-diam mengharapkan laki-laki itu kembali mengirimkan surat untuk dia.

"Terima kasih," ucapnya usai mengisi tanda tangan dan nama terang.

Jingga mempercepat langkah kaki. Seberes pintu kamar dikunci rapat, tangannya merobek bagian atas amplop lengkap dengan pranko, tertulis nama Pranata juga di sana.

Seketika perasaannya membeku, mengetahui bukan Prana yang menulis suratnya melainkan Tiur.

Halo, Kak. Ini tiur. Terpaksa pakai nama Bang Prana karena aku belum cukup umur untuk kirim surat. Tapi asal suratnya sampai dan dibaca, sudah senangnya luar biasa. Omong-omong, aku dan teman-teman lainnya kangen Kak Jingga. Kangen waktu kita cerita Malin Kundang padahal aku tahu orang dewasa sudah bosan sama cerita itu. Enggak tahu kenapa, ada rasa rindu jauh lebih kuat dari sebatas guru dan muridnya. Hehehe. Mungkin karena di sini aku hidup cuma berdua sama ayah. Ayah juga sakitnya makin parah, makin enggak bisa ditolerir. Setiap kali diajak pergi ke dokter, katanya enggak punya duit. Ah, alasan saja. Padahal aku tahu ayah takut diperiksa, padahal keadaannya semakin buruk.

Jujur, Tiur takut ayah kenapa-kenapa. Tapi semoga cuma ketakutan saja. Baik-baik, Kak Jingga. Cepat kembali.

Air mata berjatuhan, meski tidak deras tapi cukup membuat pipi mungilnya basah. Untuk pertama kali dalam hidupnya Jingga dirindukan sebesar itu. Terlebih dengan orang yang sebenarnya bukan siapa-siapa.

"Kak Jingga juga kangen sama Tiur, sama sekolah Ngelmu Pring. Sama Bu Lilis yang teramat baik. Juga sama Pra—," Jingga menutup mulutnya. Tidak. Mana mungkin mulutnya spontan mengucapkan kalimat tersebut.

Malam semakin larut, sebentar lagi pagi dijemput. Matanya harus segera dipaksa pejam. Besok Jingga berniat mengunjungi kedai langganannya untuk menebus rasa rindunya pada kopi penuh ciri khas.

BelantaraTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon