Di Kegelapan

234 17 0
                                    

Tikaman luar biasa menghantam perasaan. Ponsel terjatuh begitu saja pada tanah beralas rumput liar. Jingga segera mengambil langkah cepat, berlari sekuat tenaga tanpa peduli kakinya terseok duri tajam ilalang. Direnggut tas berukuran besar, mengemas semua barang-barang lalu pergi tanpa berpamitan. Jingga terlalu terpukul. Air matanya berjatuhan sejak di tanah lapang. Selangkah keluar dari pintu rumah, Prana mencegahnya.

“Aku antar, ya?”

“Enggak perlu.”

“Tapi, Jingga, berbahaya bila—”

“Berhenti menggangguku!”

Jingga menarik kopernya, padahal beberapa kilometer jalanan masih berupa bebatuan terjal. Tetapi dia menyangkal bantuan dari Prana. Nalurinya hanya ingin cepat menginjak daerah istimewa, pulang dengan aliran air mata di pipi, lalu memeluk raga eyangnya.

Semesta memang teramat baik, Jingga dibantu oleh beberapa orang kian melewati jalur berbatu. Dia segera menghentikan angkutan umum dan menuju bandara. Beruntung karena ada slot tiket yang memberikan jadwal penerbangan satu jam lagi. Jingga terduduk di ruang tunggu. Untuk sementara agenda praktik akan diambil alih oleh Aksa, Prana pun menyanggupi untuk ikut berpartisipasi.

Bumi tempat manusia lahir dan berpulang, Jingga sangat paham hal tersebut. Rasa sesal dan kesal menyelimuti kepalanya. Kenapa hari itu aku tidak pulang saja? Gumamnya sambil menangis.
***

Malam menuju pagi, roda hari berputar pada porosnya. Seorang perempuan yang berusaha menjadi kuat di hadapan semua orang, bagai kehilangan setengah nyawa untuk selamanya. Puluhan orang berdatangan—mengenakan pakaian serba hitam dan kerudung. Tanah basah mulai menutup jasad wanita tua yang sangat ia cintai.

Jingga melingkarkan kedua lengannya pada papan nama di tanah makam. Air matanya mengering. Hatinya terlanjur mati rasa, hancur, sulit dibuat menangis. Langit diselimuti awan hitam. Seperti menjadi pelengkap pedih. Jingga digiring pulang oleh kakaknya, walau sesungguhnya ia ingin tinggal.

“Bukan sekali kita ditinggalkan orang terdekat. Kau harus kuat. Ayah dan Ibu pergi jauh sebelum akhirnya eyang juga ikut meninggalkan kita. Harusnya kau sudah terlatih untuk itu.”

“Enggak perlu bawa-bawa nama laki-laki itu!” Jingga bangkit dari tanah makam, indera pendengarnya sangat sensitif saat menyebut kata Ayah, “Eyang sempat merawat kita biarpun dalam keadaan renta, sementara laki-laki itu sibuk menjadi manusia yang jiwanya mati.”

Perlu beberapa jeda waktu untuk menerima garis takdir. Jingga menghabiskan harinya dengan membaca buku, kembali menjadi manusia individual dan mengacuhkan sekitar. Seminggu seberes kembali ke kampung halaman, belum tumbuh hasrat untuk kembali masuk kuliah. Dulu sebelum hari kelulusan, Eyang memintanya masuk jurusan yang bertentangan dengan kepribadiannya. Alasannya cukup idealis, psikologi membantu Jingga menjadi pendengar yang baik. Dengan begitu, pemikiran “merasa paling sengsara” akan hilang.

Hidup serba mandiri telah ia lakukan sejak SMA. Ketika Jingga mendapat gelar “orang aneh” oleh remaja sebayanya. Ketika dia menjadi remaja biasa yang haus pertanyaan. Apapun pertanyaan yang keluar dari lisannya, harus selalu berhasil terjawab. Ditambah hobi membaca yang mengalir dari gen sang ibu, mulai membuat dunia Jingga semakin berbeda dari teman-temannya.

Lalu lahirlah beberapa pro-kontra, tidak sedikit orang-orang mencaci cita-citanya menjadi sastrawan. Konon katanya sastrawan adalah buruh tulis yang gajinya sedikit, jam terbang yang berantakan, sulit berinvestasi, dan masih banyak lagi. Demi membuat sang ibu pulang dan kembali mengisi kehangatan, ia bersedia melangkahkan kaki mendalami dunianya yang sekarang. Tapi kepulangan yang dinanti bertahun-tahun itu belum juga terealisasi.
***

BelantaraWhere stories live. Discover now