Bandung, Aku Cemburu

172 12 1
                                    

Lihat aku di setiap perjalanan terberatmu. Pulang bila kelelahan, jangan cari pundak lain bila sedihmu tak kunjung reda. Sebab di setiap keadaan, belum ada rumah terbaik selain pelukku.

***

Menuju Bandung, jadwal panggung berikutnya memaksa tarif makan dan tabungan Prana dan Jingga menjadi surut. Dirinya mafhum, menjadi pemusik pemula bukan hal yang mudah. Tiket pesawat seolah memang diperuntukkan orang-orang borjuis. Ah sepertinya terlalu berlebihan. Maksudnya, hanya untuk mereka yang memang berkepentingan. Sebab 'mahal' adalah bahasa saru bagi yang sok menjadi petualang.

Jingga juga bukan pengangguran mutualan yang hanya menggantungkan hidupnya pada orang lain. Novel tulisannya kini menginjak bagian sepuluh. Hampir setengah dari ekspektasi bagian yang ia tetapkan. Dalam penerbangan, jemari dan sepasang matanya lekat dengan laptop.

Bandung menjadi kota hangat dengan penduduknya yang luwes. Jingga dibuat jatuh hati di kota ini. Seolah musik sangat dijunjung tinggi dan semuanya menikmati tak lepas dari hati. Selepas bermain solo di acara panti asuhan sekaligus penampungan remaja kreatif, Prana dan Jingga tidak langsung berkemas pulang. Sayang sekali bila tiket mereka terbuang sebelum menjajah renjana membiru di Bandung.

"Aku punya paman di sini, kita bisa menginap di kediamannya," tawar Jingga sembari menikmati langit yang terbakar di ufuk barat.

"Lalu urusan membentuk band itu masih lanjut?"

"Justru itu. Bandung kota paling tepat untuk cari pemain keyboard, basis, dan drummer. Skill pemusik di sini enggak diragukan."

"Kamu mulai tahu banyak soal musik, ya," Prana terkekeh, ia memburu pelangi di bola mata Jingga.

Pipinya merekah, Jingga tertunduk malu. Pada kenyataannya, ia berusaha memperdalam isi kepalanya dengan musik demi kelancaran diskusinya saja. Semakin tahu banyak, semakin nyaman hubungan keduanya.

"Jingga..."

"Hmmm?"

"Kalau mulai menyayangiku, bilang ya."

"Kamu tahu itu sulit. Terutama untuk belakangan ini."

"Sesulit apa?"

"Udahlah, Prana. Kita ini partner kerja. Ingat, kan?" Jingga berbicara tanpa melirik, napasnya sedikit berat diikuti kalimat barusan terlontar tidak pakai ralat. Iya, Prana. Tapi aku juga mau segera menyayangimu, sayang yang sungguhan. Sesegera mungkin.

Prana terbahak mendeteksi ada kecemasan tergambar di air wajah gadis di sampingnya. "Enggak perlu tegang gitu. Cinta itu ibarat minum kopi. Semakin kental kopinya, semakin pahit juga rasanya. Tapi kita pasti punya alasan kenapa ingin minum sampai habis."

Sepasang mata Prana menggambarkan jagat raya. Jingga takut menatapnya, takut tiba-tiba hangat itu meradang lagi sampai menghabiskan sisa-sisa pertahanannya. Kalimat demi kalimat dari laki-laki itu selalu mampu mengguyur gurun tandus di hatinya. Mempertegas goresan cat warna-warni di alam pikirannya.

Semesta, tatkala aku sudah menyayanginya detik ini, bukankah itu jadi hal yang paling gila? Ucapnya dalam benak.

***

Paman Jingga yang kerap dipanggil Mang Asep, segera menghidangkan dua gelas minuman di atas meja. Kedatangan keduanya dianggap tamu agung yang datang dari negeri palangkaraya sebab ternyata nama Pranata tengah membeludak di dusun ini. Mengenal dan menelaah bagaimana keahlian musikus baru lahir sepertinya, adalah pamor untuk muda-mudi dusun.

Selain alasan banyak kamar kosong dan disayangkan bila harus menginap di hotel, Mang Asep menerima niat mereka agar putri semata wayangnya tidak kesepian. "Mangga atuh, tidak perlu takut merepotkan," ujarnya dengan logat sunda kental.

BelantaraWhere stories live. Discover now