Prelude

8.6K 974 316
                                    

Naren Arshadikara

Aku ingin mengawali ceritaku dengan kebahagiaan, dan mengakhirnya dengan kebahagiaan pula. Sayangnya, cerita yang melulu berisi kebahagiaan dianggap monoton, mengada-ada. Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian sepertinya menjadi keniscayaan dalam hidup. Tambahkan buaya, jeram, dan ngarai, cerita jadi makin seru. Klimaksnya di kelas 12.

Itu menurutku, karena aku kelas 12 sekarang dan seseorang berteriak, "Welcome, Hell!"

Namaku, Naren Arshadikara. Panggil saja Ren. Usia 18 tahun, tetapi dalam sekejap aku harus menjadi lelaki dewasa menggantikan Ayah. Masalah keuangan rumah tangga, itungan biaya hidup dan pendidikan, yang semula menjadi urusan Ayah dan Ibu, menjadi urusanku dan Ibu. Dulu aku hanya membantu Nazhan belajar membaca, kini aku harus memikirkan juga terapi disleksianya. Belum lama, aku tidak peduli dengan PMS yang diderita Natya. Tiba-tiba saja, aku terimbas oleh gejolak hormon gadis 15 tahunan itu.

Siap tidak siap, Ibu menjadi pilot, dan aku menjadi kopilotnya. Namun, kalau Ibu sudah menangis diam-diam di dapur, itu tandanya aku harus ambil alih kemudi. Padahal, mengambil keputusan untuk diriku saja, aku masih gamang.

Setelah lulus SMA nanti, aku hendak ke mana? Kuliah atau bekerja? Ataukah ada pilihan ketiga? Setelah itu apa? Bagaimana dengan adik-adikku?

Jarak pandangku pendek sekali, hanya sepanjang titian dari hari ke hari. Aku sibuk jaga keseimbangan agar tidak jatuh, sementara tujuan masih kabur.

Adakah spoiler bagaimana kisahku akan berakhir?

Adakah spoiler bagaimana kisahku akan berakhir?

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

❖❖❖

Wening Ayu Rengganis

Kalau ditanya, setelah lulus SMA mau apa, aku bisa jawab dengan yakin. Kuliah. Semua orang juga tahu, jenjang pendidikan setelah SMA adalah perguruan tinggi. Berbeda dengan sekolah kejuruan, SMA tidak menghasilkan lulusan siap kerja. Justru karena itu, aku masuk SMA. Aku pengin sekolah setinggi-tingginya. Cita-cita itu bahkan sudah tercetus sejak masuk SMP.

Lalu, kuliah di mana, prodi apa?

Universitas Tokyo, College of Arts and Sciences, prodi Earth System and Energy Sciences.

Aku tahu, targetku sangat tinggi, dan usaha untuk meraihnya tidak main-main. Entah sejak kapan aku mempersiapkan diri. Fisik, mental, prestasi akademis, portofolio, dana, kemampuan bahasa, apa lagi?

Satu sekolah sudah tahu, aku serius.

Namun, tidak ada yang pernah bertanya, kenapa aku memilih perguruan tinggi dan prodi itu secara spesifik. Paling mereka berasumsi, aku mengikuti jejak Ayah.

Take My HandDonde viven las historias. Descúbrelo ahora