12. Hot Potato

739 192 58
                                    

Masih minggu ke-13 dari 35

Terpaksa mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan nurani ibarat melahap makanan panas-panas, lidah terbakar tetapi harus tahan. Lidah memang tidak bertulang, bagaimana kalau sekaligus seperti lidah kucing? Nekojita.

Wening tidak bisa tidur. Makin larut, makin aktif otaknya mengulang-ulang dan membayangkan semua perencanaan yang ia buat bersama Arvind. Kalau sebelumnya ada dua hambatan untuk pergi ke Tokyo, yaitu masalah dana dan kekhawatiran pergi sendiri, sekarang tidak ada keraguan lagi dengan solusi dari Arvind. Mereka memutuskan terbang ke Tokyo Rabu malam. Ada waktu tiga hari untuk persiapan.

Minggu besok, Wening akan meminta izin Ibu untuk menginap di rumah Nini, sekaligus memintanya menulis surat izin ke sekolah. Wening yakin, Ibu tidak akan berkeberatan kalau ia bilang perlu waktu tenang untuk memikirkan situasi keluarga mereka. Senin, ia ke sekolah seperti biasa untuk mengalihkan apa-apa yang diurusnya di kelas sebelum absen seminggu. Selasa, ia ke Jakarta pagi-pagi. Rabu sore, ia ke Bandara Cengkareng, bergabung dengan Arvind dari Bandung untuk terbang malamnya.

Arvind bahkan terpikirkan soal koper dan baju hangat. Ya, mereka perlu membawa pakaian tebal. Walaupun Jepang di bulan Oktober masih musim gugur, temperaturnya lebih dingin daripada Bandung. Pagi dan malam hari bahkan turun drastis. Akan mencurigakan kalau pergi ke rumah Nini saja, Wening membawa koper berisi jaket dan mantel.

"Ning, packing saja sekarang. Aku yang urus koper-koper kita mumpung Mami dan Papi sedang di luar kota. Besok dan Senin, aku enggak bakal leluasa." Arvind menunjukkan alamat penitipan barang di ponselnya. Dekat stasiun. "Titipkan di sini sampai waktunya aku pergi ke Jakarta. Naik kereta Rabu pagi."

Dengan dada berdentam-dentam oleh beragam emosi, yang merambat ke tangan sampai gemetaran, Wening pun menyiapkan koper. Sesuai saran Arvind, koper kecil saja untuk perjalanan ringkas dan ringan. Ada beberapa di loteng, ia mengambil satu. Label dari penerbangan terakhir masih melekat. NRT-CGK, Narita-Cengkareng, musim panas lima tahun lalu. Dengan Ibu, ia menjenguk Ayah. Liburan bertiga yang menyenangkan. Matanya sudah berkaca-kaca tanpa bisa dicegah.

"Satu overcoat, satu sweter, satu syal, tiga setel pakaian termasuk kaus kaki dan sarung tangan. Cukuplah untuk seminggu," kata Arvind, dari luar kamar. "Ditambah jaket dan dua setel yang kamu pakai dan bawa dalam ransel ke Jakarta. Semua bisa masuk kabin, enggak perlu bagasi."

Wening kagum dengan perhitungan Arvind. Anak itu sebetulnya cerdas, andai kecermatannya diterapkan dalam pelajaran, Wening yakin, Arvind mudah saja mendapatkan nilai bagus. Entah apa yang mengganjalnya selama ini.

"Vind, kamu sendiri bakal minta izin mami-papimu?" Wening keluar kamar, mendorong koper. "Kan bisa bilang mau meninjau Universitas Tokyo, siapa tahu pengin kuliah di sana."

Arvind tertawa, angkat bahu.

Tiba-tiba ponsel Wening berbunyi, menampilkan nama Tante Agatha di layar. Arvind melongok, dan mereka saling pandang, tegang. Dering kedua, ketiga ....

"Terima saja. Bilang, aku ke sini siang tadi dan sudah pergi lagi! Kamu enggak tahu aku ke mana. Oh tambahkan, aku bilang ke kamu, ada acara sama Mami." Wening mengangkat alis. Arvind berdecak. "Do it, trust me."

Tante Agatha memang mencari Arvind karena kesulitan menghubunginya. "Dia bilang ada acara sama Tante? Ya, ampun! Tante baru mau pulang dari Jakarta nih!" Tante Agatha mengomel setelah mendengar jawaban Wening. Hubungan lalu diputuskan.

"Mami enggak akan curiga kalau aku bandel kayak biasanya," kata Arvind, menyeringai. "Oke, bawaanmu beres. Ning, sekalinya aku membayar tiket, enggak boleh mundur lagi. Atau kamu masih perlu pikir-pikir?"

Take My HandWhere stories live. Discover now