6. Distraction

2.5K 419 102
                                    

Minggu ke-8 dari 35

Waktu, sekalinya terbuang, tidak dapat didaur ulang, selamanya hilang. Mottainai!




Distraction: (1) sesuatu yang menghambat seseorang dalam memberikan perhatian penuhnya kepada satu hal. (2) Gangguan ekstrem terhadap pikiran atau emosi.

Wening paling benci distraction. Gangguan konsentrasi menyebabkan hasil kerjanya tidak maksimal. Waktunya yang berharga pun tersia-sia hanya untuk mengurusi gangguan itu. Mottainai!

Dokter Hell gara-garanya. Wening terlalu meremehkan dia.

Sejak Ibu diantar pulang oleh dokter itu, Wening terus bertanya-tanya, ada apa di antara mereka. Memang baru sekali itu ia lihat, tetapi bagaimana kalau ada kali-kali lain yang tidak ia lihat? Ia bukan anak kecil lagi yang memandang kejadian itu dengan polos. Bukankah lebih baik mencegah daripada mengobati?

Pertanyaan pertamanya membuat Ibu terkejut, lalu mengalihkan topik. Ketika didesak, Ibu menjelaskan bahwa mereka hanya teman dekat, seperti Wening dengan Ren dan Arvind. Gara-gara tertinggal mobil antar-jemput karyawan, Ibu terpaksa menerima tawaran dokter Hasan pulang bersama.

Wening hampir percaya karena ingin percaya tetapi akhirnya sulit percaya. Setiap ia menyebut nama dokter itu lagi, reaksi Ibu berlebihan. Kali terakhir, Ibu malah membentaknya, menyuruhnya menjaga mulut hanya karena ia meminta Ibu berhati-hati.

Padahal kekhawatirannya beralasan. Wening sudah googling. Alamat dokter itu berlawanan arah dengan Ibu, artinya bela-belain ke sini. Ia juga sudah mengubek-ubek website rumah sakit, galerinya menampilkan beberapa foto kegiatan. Wening baru menyadari, Ibu adalah figur penting di RS, dan dokter itu sering berada dalam satu frame dengannya.

Memang tidak membuktikan apa pun, tetapi bukan berarti tidak ada apa-apa.

Reaksi Ibu paling mengganggu pikiran dan emosinya. Wening menyadari dampaknya secara langsung pada nilai ulangan Kimia. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, ia hanya mendapatkan 77, di bawah standar 80, di bawah nilai Ren dan Ulvi. Ia sama sekali tidak terhibur oleh canda Arvind yang menganggapnya lebih beruntung tak berhingga, 77 banding 0. Kalau keadaan ini dibiarkan berlarut-larut, Wening khawatir dengan IELTS yang akan dihadapi besok.

Hari ini, ia bertekad membabat gangguan langsung di akarnya. Di rumah sakit. Selagi Ibu masih di rumah karena sifnya dimulai pukul 15.00.

Di kelas, Wening sudah gelisah. Menjelang bel istirahat, Pak Herdin masih berbicara tentang jurusan yang akan dipilih melalui jalur SNMPTN. Pak Royan sudah pernah membuat daftar pilihan sekelas. Kebanyakan temannya memilih jurusan dan perguruan tinggi yang kurang diminati, agar peluang diterima lebih besar. Sementara mereka yang mengincar jurusan dan PTN idaman, optimismenya nyaris tiarap. Untung-untungan. Jangan berharap.

"Kalian harus memilih yang kalian minati, jangan asalan. Bayangkan, kalau nanti diterima, apakah kalian yakin akan kuliah di sana sampai selesai," kata Pak Herdin. "Ingat, kursi PTN terbatas. Jangan menyia-nyiakannya."

Wening tertohok. Ia tidak pernah memusingkan SNMPTN, mendaftar hanya karena semua wajib mendaftar. Tidak lolos, tidak masalah. Kalaupun lolos, akan ia tinggalkan ke Jepang. Kata-kata Pak Herdin membuatnya tersadar. Bagaimana kalau karena suatu hal, ia batal masuk ke Universitas Tokyo, bahkan sama sekali tidak pergi ke Jepang? Berarti ia harus memilih prodi dan PTN dengan penuh pertimbangan.

Namun, bukan itu masalahnya. Baru kali ini Wening cemas akan ada hambatan untuk kuliah di Jepang. Sulit ia ungkapkan dengan kata-kata, tetapi kecemasan itu berkaitan dengan Ibu. Perutnya seakan terpelintir.

Take My HandWhere stories live. Discover now