1. Welcome Hell

6.7K 742 371
                                    

Minggu ke-2 dari 35

"Sedia payung sebelum hujan."

Tetapi hujan memilih turun saat kamu tidak membawa payung.

Paginya dimulai dengan teriakan Ibu dari balkon.

"Reeeeen! Nazhan kabur! Cepat kejar!"

Ren menjatuhkan ember dan memelesat keluar. Sekejap saja, adiknya sudah tidak terlihat di sepanjang jalan depan rumah. Nazhan tidak punya kemampuan super, tetapi kecepatan larinya luar biasa untuk anak 10 tahun. Saat emosinya meledak, Nazhan bisa bergerak acak tanpa lihat kanan-kiri. Sungguh berbahaya kalau lalu lintas sudah ramai. Subuh belum lama lewat. Tidak ada istilah terlalu pagi bagi Nazhan untuk mencoba membaca sendiri lalu frustrasi dengan disleksianya.

Ren lari menyeberang jalan, masuk ke gang, lentur melompati pagar tanaman, gesit melintasi kebun dan menghindari genangan air. Ia bersyukur, hobi parkour yang ditekuninya sejak SD benar-benar berguna dalam situasi ini. Ren berhasil menyusul sebelum Nazhan memanjat pagar pemakaman.

"Zhan!" Ren menyambar lengan adiknya.

Nazhan berhenti. Napasnya terengah. Tidak menangis. "Aku penasaran dengan Garuda Gaganeswara. Tapi huruf-huruf enggak mau diam."

Ren merangkul Nazhan, agak menyesal memberinya novel baru. Sudah tahu, Nazhan akan terobsesi menyelesaikan bacaan. Sementara Ren tidak punya waktu membantu adiknya gara-gara tugas sekolah bertumpuk akhir-akhir ini. "Bagaimana kalau aku temani kamu membaca satu halaman sekarang?"

"Tapi itu bisa satu jam sendiri. A-Ren nanti telat ke sekolah."

"Enggak masalah." Ren mendorong adiknya untuk pulang.

Kaki Nazhan terpancang, bergeming. "A-Ren pulang saja dulu. Aku masih pengin di sini."

Ren mengikuti pandangan Nazhan. Deretan nisan di balik pagar, petak paling ujung sebelah kanan. Ayah dikebumikan di sana. Ren mendesah. Setahun... rasa kehilangan makin tajam mengiris. Waktu akan menyembuhkan, kata seseorang. Ikhlaskan, kata orang satu lagi. Siapa mereka yang begitu mudahnya berbicara saat takziah? Ren mendengkus. Perasaan adiknya sekarang pasti tidak lebih baik darinya. Dan itu tidak berkaitan dengan waktu atau ikhlas.

Disleksia Nazhan memburuk sejak Ayah tiada. Naik ke kelas 4 tetapi belum lancar membaca, homeschooling pun jadi solusi. Guru merangkap terapis datang tiga kali seminggu. Selebihnya, Nazhan belajar dengan Ibu. Ren dan Natya membantu sesekali. Tidak jarang, Nazhan frustrasi sendiri. Terutama saat menemukan kata-kata yang menjadi asing lagi padahal dulu bisa dibacanya bersama Ayah. Mungkin tinggal kata payung yang selamanya akan ajeg di mata Nazhan. Kata biasa yang tidak berarti apa-apa kecuali makna kamusnya, tetapi digoreskan Ayah pada bak pasir kali terakhir mereka berlajar. Nazhan melarang siapa pun menyentuhnya.

Ren menengadah, mendung di langit timur meredupkan sorot matahari. "Sepertinya bakal hujan lagi. Kita enggak bawa payung," gumamnya.

Nazhan bereaksi. Detik berikutnya, anak itu sudah memelesat untuk pulang. Tanpa menoleh lagi ke pemakaman. Ren tersenyum. Just say the magic word: Payung.

Pukul 08.00, Ren baru sampai di sekolah dengan berjalan cepat. Jam pelajaran pertama sudah lewat. Paruh terakhir jam kedua masih terkejar. Gerbang sekolah sudah dikunci. Tidak masalah. Ren berlari mengitari benteng setinggi dua meter yang kokoh tanpa celah. Tepat di belakang kompleks SMA, berbatasan dengan kampung, ia berhenti di depan pagar besi yang dirantai dan digembok permanen. Hanya kucing, siswa nekat, dan traceur yang bisa melewati rintangan ini. Traceur itu Ren, praktisi parkour.

Take My HandWhere stories live. Discover now