9. Premonition of Chaos

2K 352 110
                                    

Masih minggu ke-11 dari 35

Koi no Yokan, perasaan kuat yang timbul ketika bertemu seseorang untuk pertama kalinya, bahwa kelak akan saling jatuh cinta.



"Dalam rangka apa ini?" Wening duduk di depan Ibu, memandang sekeliling restoran. Interiornya sederhana, tetapi terkesan berkelas. Ia satu-satunya pengunjung yang berseragam sekolah. Sepertinya, mereka satu-satunya juga yang datang ke sini dengan kendaraan umum. Di parkiran tadi, berjajar mobil-mobil mewah. Belum lagi penampilan buku menu itu, pasti makanan dan minumannya di luar jangkauan anggaran harian Ibu.

"Sesekali mentraktir putri sendiri yang sudah belajar keras dan berprestasi, apa salahnya?" Ibu tertawa kecil.

Wening memandangnya. Wajar saja sesekali melakukan sesuatu di luar kebiasaan, tetapi masih banyak tempat makan lain yang lebih terjangkau. Ia mencondongkan tubuh dan berbisik. "Bagaimana kalau kita pindah ke fastfood saja, dan sisa dana traktiran aku minta mentahannya?"

Ibu mencubit lengannya di atas meja. Wening menjerit kecil, hendak memprotes, tetapi meja mereka sudah didatangi seorang pramusaji. "Kami pesan minuman saja dulu," kata Ibu kepada pelayan, dan memilihkan dua jenis minuman dari buku menu.

Wening tidak masalah dengan itu. Ibu tahu apa yang disukainya. Siapa tahu pula ia berubah pikiran, tidak makan di sini. Wening meletakkan ranselnya di kursi sebelah. Ada meja untuk berdua, tetapi Ibu memilih meja berempat.

"Kapan hasil tes IELTS keluar?" tanya Ibu.

"Dua hari lagi. Begitu hasilnya datang, semua persyaratan lengkap, aku akan emailkan ke Ayah untuk digabungkan dengan surat pernyataan pendanaan darinya, lalu Ayah yang akan masukkan berkas pendaftaranku. Dan aku tinggal mengikuti EJU bulan November." Wening berbicara cepat terdorong semangatnya.

"Kamu enggak sabar pengin segera ke Tokyo," kata Ibu.

Nadanya netral, tetapi tak urung membuat Wening tertegun. Sudah berkali-kali mereka membicarakan konsekuensi pilihannya, yang paling menyesakkan adalah meninggalkan Ibu sendirian. Namun, demi keutuhan keluarga, lima tahun berpisah adalah harga yang layak dibayar. Dalam lima tahun, ia berjanji akan berhasil meluluhkan hati Ayah. Karena merujukkan dua orang yang sudah tahunan berpisah tidak mungkin dilakukan dalam satu atau dua minggu, dan Ibu selalu bilang, kunci masalah mereka sebagai pasutri ada di Ayah. "Jangan khawatir, Bu. Aku akan pulang minimal setahun sekali."

Ibu mengangguk, segera mengalihkan topik. "Oh ya, Ren dan Arvind mau kuliah di mana?"

Wening menyemburkan napas. Prihatin karena keduanya belum juga bisa menentukan pilihan. Ia bahkan tidak tahu apa sebetulnya yang tengah dihadapi Ren dan Arvind. Sekalinya ada kesempatan bicara dari hati-hati, malah timbul ketegangan di antara dua anak itu. "Ren dan Arvin belum memutuskan apa pun. Aku menduga, Ren terbentur masalah dana, tapi enggak pernah mau berbagi cerita. Waktu Ren ditagih-tagih bendahara untuk iuran buku tahunan, aku lunasi diam-diam. Eh, Ren mengembalikan uangku sambil ngomel-ngomel."

"Hmm, Ren persis ibunya. Amel pernah menolak bantuan Ibu juga. Kita enggak bisa memaksa. Barangkali sudah cukup kalau mereka tahu kita siap kapan saja diperlukan."

Wening mengangguk. "Ren sering moody akhir-akhir ini, apalagi kalau menghadapi Arvind. Aku juga suka sebal sama Arvind. Nilai-nilainya jongkok, tapi enggak niat belajar. Kukira, Arvind sengaja membandel karena Tante Agatha dan Om Nurdan makin menekannya."

Minuman mereka datang. Wening menyesap jus lecinya pelan-pelan.

"Tambah usia, tambah tantangan buat kalian." Ibu hanya mengaduk-aduk minumannya. "Waktu masih TK dan SD, kamu dan Ren main berdua kayak enggak ada waktu esok. Sampai banyak tetangga yang bilang kalian berjodoh."

Take My HandWhere stories live. Discover now