Side Story - Rain Monk

319 47 5
                                    

Musim panas adalah musim dimana banyak badai petir.

Ada saat-saat dimana bahkan ramalan cuaca tidak bisa memprediksi cuaca dengan akurat, dan akan turun hujan kapan pun tiba-tiba, dengan dahsyat.

Aku tidak membawa payungku, dan terpojok di gang kecil oleh derasnya hujan.

Setelah menghadiri pertemuan kecil dengan sekelompok teman baik, seseorang mabuk, dan karena itu tidak jauh, aku mengirim orang itu kembali ke rumah. Kemudian, aku mengambil jalan pintas ke sebuah gang, tetapi tanpa diduga, badai hujan menerpa ditengah jalan.

Tetesan hujan seukuran kacang polong mengalir deras, memukuli tanah seperti cambuk, suara deras hujan menggema di telingaku. Garis-garis petir akan melintas di langit dari waktu ke waktu, seperti ular perak yang bolak-balik, menerangi langit malam yang gelap pekat berulang-ulang.

Jam sepuluh malam, aku dengan kuyu berlindung di bawah atap kecil, baterai di ponselku mati, tidak bisa memanggil bala bantuan, dan hanya bisa menunggu hujan reda.

Ketika hujan semakin kuat, gang yang suram menjadi benar-benar kosong, aku menyusut ke sudut, tanpa daya menatap hujan yang mengalir deras seperti air terjun di depan mataku.

Crack.

Petir mengkilap berwarna keperakan mengoyak cakrawala.

Seluruh gang menyala seketika, lalu menjadi gelap disaat berikutnya.

Dan seketika itu juga, aku sepertinya ... melihat seseorang?

Mm? Apa itu tadi? Mungkinkah aku salah lihat?

Clack! Kilatan petir terdengar dari atas.

Kali ini aku melihatnya dengan jelas, itu benar, pasti ada seseorang yang berdiri di depanku, sekitar lima atau enam meter jauhnya.

Itu adalah seorang biksu Buddha, dan aku tidak tahu kapan dia tiba, tetapi ketika aku melihatnya, dia sudah berdiri di sana, sebuah topi bambu berbentuk kerucut ada di kepalanya. Tepi lebar topi bambu itu menutupi sebagian besar kepalanya, hanya sedikit memperlihatkan dagunya.

Biksu itu menundukkan kepalanya, dengan jubah abu-abu di tubuhnya, seutas tasbih di lehernya, tangan kirinya memegang mangkuk sedekah, tangan kanannya memegang tongkat, berdiri tak bergerak di tengah hujan deras.

Melihat ini, aku buru-buru pindah ke samping, melakukan yang terbaik untuk membuat sedikit ruang di bawah atap, lalu melambai padanya, berteriak kepadanya sehingga dia bisa datang mendekat dan berlindung.

Tetapi biksu itu mengabaikanku, bahkan tidak melirikku, berdiri di tengah hujan tanpa bergerak satu langkah pun, basah kuyup dari kepala hingga kaki oleh hujan.

Eh, mungkinkah ia sedang melakukan praktik keagamaan?

Aku menggaruk kepalaku dengan bingung, dan tidak bisa memaksanya datang mendekat, jadi aku hanya bisa menatap ketika dia basah kuyup.

Setengah jam kemudian, badai akhirnya reda sedikit demi sedikit. Aku berjalan keluar dari atap, melihat biksu Buddha itu berdiri di posisi semula, punggung tegak, bahkan tidak ada perubahan pada posisi tangannya.

Entah mengapa, perasaan kagum dan bingung secara emosional menghantamku, dan aku mengambil beberapa uang receh dari sakuku, memasukkan semuanya ke mangkuk sedekahnya, lalu berbalik untuk pergi.

*

Sudah sangat larut malam ketika aku kembali ke vila Jiuye.

Ah Bao sedang menonton kartun di ruang tamu, dan saat melihatku masuk, dia menjerit seolah-olah dia melihat hantu, "Uwahhhh! Xiao Mo Mo! Se-Sesuatu mengikutimu pulang!"

[Slow Update] Jin Xiao Yi Tian [BL]Where stories live. Discover now