Mendung dan Senja

12 2 0
                                    

Senja kala itu begitu indah. Namun tak lama kemudian datanglah awan mendung. Menutupi semburat jingga yang memukau dengan segerombol abu-abu yang terdengar parau.


Hujan belum menemui kita untuk beranjak.

"Jika aku adalah mendung, dan dia adalah senja. Kamu pilih yang mana?" .

Mendung kian pekat, terkadang disertai ornamen kilat. Setelah mendengar pertanyaanku ia tak terperanjat. Malah menatap mataku lekat.

"Aku tak pilih dua-duanya" 

Aku refleks menoleh, membuat raut muka bertanya, "kenapa?". Tanpa mengeluarkan kata itu, dia bisa membaca bahasa wajahku.

"Karena yang kulihat saat ini bukanlah mendung maupun senja," lanjutnya tanpa melepaskan pandangannya dari manik hitamku.

Aku gemas. "Tapi kan, aku ngasih opsi mendung dan senja saja" 

Dia tersenyum, semakin menggemaskan.

"Kalau begitu, aku pilih mendung". Oh Tuhan, dia terlihat seperti cotton candy, rawan dilahap.

Aku keheranan sekaligus senang, "kenapa?" 

"Karena mendung mengingatkanku akan hal-hal yang aku butuhkan. Aku teringat hujan, yang darinya aku belajar banyak, dan tanpanya aku tak akan bisa hidup. Mendung juga mengingatkanku untuk segera pulang ke rumah. Sedangkan senja hanya memberiku keindahannya sendiri lalu menghadirkan kelam" 

Aku terperangah, terbuai kata-katanya. Mendung kian menghitam. Gemuruh sesekali tertawa melihat kita yang tak kunjung beranjak.

Namun hujan sepertinya belum ingin mengusik kita.

Dia mendekatkan tubuhnya, menggenggam jemariku. Lalu berbisik pelan.

"Tanpa mendung, tak akan ada pelangi yang indah" .

Oh, Tuhan. Ujung bibir ini entah berada di langit keberapa.


Sidoarjo, 30 Januari 2019

Guratan MonalisaWhere stories live. Discover now