Kunci pintu

21.5K 2.2K 172
                                    

Ara mondar mandir di kamarnya. Menghitung dua kata yang sama sejak satu jam yang lalu, sebelum memutuskan masuk ke rumah pak Darma.

Keluar nggak, keluar nggak.

Jawabannya tetap nggak.

Gimana dunk...

Kan Ara bingung. Bukan takut di sidang atau apa. Tapi, ia tidak mau terlihat bodoh di depan bujangan pak Darma yang kebelet kawin, setelah apa yang dilakukan pria itu padanya.

Menghela nafas berat, Ara mengambil keputusan untuk tidak pergi. Gadis itu merebus mie instan untuk makan siang kali ini.

Wujudnya di rumah sendiri, tapi pikirannya ke ruang makan bu Farida. Siang begini, bu Farida pasti masak banyak. Segala menu, mengantri di kepala Ara, membuat pemilik angan itu mendesah kesal.

Ara pintar masak, tapi tidak bisa masakan Aceh. Apapun yang dimasak oleh bu Farida berkenan di mulutnya.

Mulut gue memang murahan. Apapun di makan. Lagian, ini mulut juga udah dimakan anak buk Faridah.

Ara memukul jidatnya. Menggeleng cepat, mengusir bayangan hitam nan kelabu.

Bisa-bisanya ia berpikir kejadian pagi tadi.

Selesai makan Ara menghabiskan waktunya di kamar. Tidur-tiduran meregangkan otot yang kaku. Untung Amir datang, jadi ia bisa pulang. Fisik dan psikisnya terasa lain hari ini. Tanpa diketahui gadis itu, jika penyebabnya adalah sang tetangga.

Niatnya tiduran, eh benar tertidur. Satu suara membangunkannya dari alam mimpi siang bolong menjelang sore.

Tetangga sebelah telponan.

Ara tidak menguping. Suara di sebelah kamarnya yang besar. Alhasil, dia bisa mendengar obrolan itu.

"Aku nggak tahu, Man. Bingung juga."

Ara berkedip. Man? Atau Men?

"Asal dekat, bawaannya mau meledak."

Ngomong apa sih!

Lama, tidak ada suara. Hingga lima menit kemudian, Ara mendengar suara asing.

"Gue sih cuma nyaran, Nyu. Lo udah waktu ereksi! Gila ya, bini gue udah tiga kali bongkar mesin, lah lo masih diam di tempat."

Oke!

Ini bahasan, kelas kakap.

Meski telinga Ara pernah mendengar desahan dari isi ponsel Banyu, bukan berarti ia pantas mendengar percakapan dua lelaki itu.

Tapi tunggu dulu,

"Dia bukan tipeku, Man. Yang aku cari bukan seperti itu."

"Iya. Tapi yang lo butuh dia. Siapa namanya?"

Kuping Ara terasa panas, karena terlalu lama menempel di dinding. Saking penasarannya.

"Nanti kalau kamu ke sini, juga tau."

Ck.

Tinggal bilang siapa, gitu.

Kak Munah bukan ya!

Merasa jenuh, Ara keluar dari kamarnya. Pembahasan perjaka tua, tidak menarik minatnya. Apalagi, perjaka itu anak pak Darma. Ara tidak berminat.

Perutnya lapar. Satu bungkus mie instan tidak bisa mengganjal perutnya. Kebiasaan makan dua porsi di rumah buk Farida, sekarang ia harus menahan resiko.

Masa mie lagi? Gue harus belanja dapur kayaknya.

Merebus mie instan lagi, kali ini sekalian telur. Lumayan, semoga tahan sampai malam. Nanti habis maghrib, beli nasi goreng di perempatan.

Ranjang TetanggaWhere stories live. Discover now