HARI KE-13

1.7K 33 0
                                    


Duryudhana memanggil Bhagadatta, Raja Pragjyotisha (di zaman sekarang disebut Assam, sebuah wilayah di India). Bhagadatta merupakan putera dari Narakasura, raja yang dibunuh oleh Kresna beberapa tahun sebelumnya.
Bhagadatta memiliki ribuan gajah yang berukuran sangat besar sebagai kekuatan pasukannya, dan ia dianggap sebagai kesatria terkuat di antara seluruh kesatria penunggang gajah pada zamannya.

Pada hari ketiga belas, Arjuna ditantang lagi dengan sumpah Samsaptaka atau sumpah prajurit. Prajurit Trigartas, yang dipimpin oleh Raja Susarman, telah bersumpah untuk membunuh Arjuna atau mati dalam usaha itu. Setelah bersumpah, mereka melakukan upacara pemakaman mereka sendiri, karena mereka juga tahu bahwa kesempatan mereka untuk menang sangat kecil.

Sesuai rencana, Drona mengatur serangannya ke induk pasukan Pandawa dengan formasi kembang teratai (Cakrabuyah). Dalam induk pasukan Pandawa ada Yudhistira, Dristadyumna, Bima, Satyaki, Drupada, Chekitana, Gatotkaca dll.
Bhagadatta menyerang Arjuna dengan mengendarai gajah raksasanya yang bernama Supratika di sebelah selatan wilayah pertempuran, terpisah dari pasukan induk.
Pertempuran antara Arjuna melawan Bhagadatta terjadi dengan sangat sengit. Saat Arjuna sibuk dalam pertarungan yang sengit, di tempat lain, empat Pandawa sulit mematahkan formasi Cakrabyuha yang disusun Drona.

Yudhistira mengerti betul formasi pasukan Cakrabuyah tersebut hanya Arjuna dan Abimanyu yang bisa mematahkan formasi tersebut. Karena Arjuna sudah menghadapi pertempurannya sendiri maka dipanggilnya Abimanyu, kemenakannya dan berkata,
"Anakku, Mahaguru Drona hari ini akan menyerang kita secara besar-besaran. Ayahmu telah berangkat ke medan pertempuran di selatan. Kalau dia tak ada, kita bisa dikalahkan musuh dan itu akan menjadi malapetaka besar bagi kita.Tidak seorang pun di antara kita yang akan mampu menembus formasi Drona, kecuali ayahmu dan mungkin engkau. Paman berharap, engkau bersedia melakukan tugas ini," kata Yudhistira kepada Abimanyu .
"Ya, Paman, aku bersedia melakukannya. Ayah pernah mengajarkan cara menembus formasi seperti itu, tetapi aku belum pernah mempelajari cara keluarnya," jawab kesatria muda itu.
"Anakku yang gagah berani, tembuslah formasi yang kokoh itu dan buatlah jalan masuk agar kami dapat mengikutimu dari belakang. Selanjutnya, kami semua akan membantumu," tambah Yudhistira.

Pendapat itu didukung Bima, yang bersedia segera menyusul kemenakannya jika Abimanyu telah berhasil masuk ke dalam formasi kembang teratai itu.
Di belakang Bima juga akan menyusul Drestadyumna, Satyaki, Raja Panchala, Raja Kekaya, dan pasukan Kerajaan Matsyadesa.
Ingat akan ajaran ayahnya dan Krishna serta meresapkan dorongan semangat dari paman-pamannya, Abimanyu berkata,
"Baiklah, aku akan memenuhi harapan ayahku dan pamanku. Kupertaruhkan keberanian dan nyawaku demi kemenangan Pandawa."
Yudhistira memberi restu kepada kesatria muda itu. Dengan kereta kesayangannya yang dikemudikan Sumitra, Abimanyu berangkat melakukan tugas suci yang dipercayakan kepadanya oleh pamannya.
Kereta yang ditarik empat ekor kuda gagah itu segera meluncur menembus jantung formasi kembang teratai. Bagaikan seekor singa membelah gerombolan gajah perkasa.
Kedatangan Abimanyu di tengah-tengah kekuatan Kurawa membuat sebagian prajurit Kurawa cemas. Mereka tahu benar, kesatria muda itu hampir sama sakti dan mahirnya dengan ayahnya, Arjuna. Ketika Abimanyu maju dengan perkasa, pasukan Kurawa mundur dan terbelah dua.
Jayadrata, raja Negeri Sindhu, yang memihak Kurawa adalah seorang ahli siasat dan taktik pertempuran yang disegani lawan maupun kawan. Ia memotong belahan yang dibuat Abhimanyu, membuat kesatria muda itu terperangkap.Bima dan yang lain tercegat, tak bisa menyusul Abimanyu dan harus berhadapan dengan pasukan yang dipimpin oleh Jayadrata. Empat Pandawa yang tadinya melindungi Abimanyu dari belakang, dihadang Jayadrata sehingga Abimanyu memasuki formasi Cakrabyuha tanpa perlindungan.
Kendati demikian, Abimanyu terus maju menyerang musuh yang beribu-ribu jumlahnya. Ia menyerang ke kanan dan ke kiri, tidak peduli siapa pun yang dihadapinya. Tidak terhitung banyaknya korban di pihak Kurawa yang jatuh bagai pohon-pohon bertumbangan diamuk angin topan. Tombak, gada, pedang, busur, anak panah dan bola-bola besi berserakan di mana-mana. Mayat-mayat bergelimpangan. Ada yang tanpa kepala, tanpa kaki, tanpa lengan. Ada yang badannya terbelah. Sungguh pemandangan yang sangat mengerikan.
Melihat ini, Duryudhana merasa perlu untuk maju menghadapi Abimanyu.
Mahaguru Drona yang tahu benar kekuatan, keberanian dan tekad Abimanyu, terpaksa mengirimkan bala bantuan untuk mengawal Duryudhana agar pangeran Kurawa itu tidak tewas di tangan Abimanyu. Duryudhana nyaris tewas, tetapi sempat diselamatkan oleh para pengawalnya.
Akhirnya,tanpa malu atau segan, para senapati Kurawa melanggar semua aturan perang. Beramai-ramai mereka mengeroyok putra Arjuna, dari segala penjuru dan dengan segala macam cara.
Drona, Aswatama, Kripa, Karna, Sakuni, Dursasana dan para kesatria besar yang patut dihormati, tanpa malu atau tanpa ragu menyerang Abimanyu yang sendirian tanpa pasukan dan tanpa bala bantuan di tengah ribuan musuhnya. Abimanyu bagaikan perahu kecil yang tak berdaya digulung gelombang yang susul-menyusul di lautan maha luas ketika badai topan mengamuk dengan dahsyatnya. Tetapi dengan penuh tekad Abimanyu terus memberikan perlawanan, bagai perahu yang terus maju memecah ombak dan melawan angin.
Asmaka menyerang Abimanyu dengan menabrakkan keretanya yang dipacu sekencang angin. Tetapi Abimanyu menghadapinya sambil tersenyum. Pertarungan yang tak seimbang antara seorang kesatria muda yang belum berpengalaman melawan puluhan kesatria sakti yang sudah berpengalaman membuat orang iba kepada Abimanyu. Ia berhasil menghancurkan senjata Karna dan menyerang Salya hingga kedua kesatria yang sudah tidak muda lagi itu terluka parah. Saudara Salya membalas dengan menggempur Abimanyu, tetapi ia juga dapat dikalahkan. Abimanyu menghancurkan keretanya.
Drona terharu menyaksikan Abimanyu bertempur dengan gagah berani. Ia berkata kepada Kripa,
"Adakah yang bisa menandingi keberanian Abimanyu? Sungguh ia pemuda yang perkasa dan berani!"
Duryudhana, yang kebetulan berdiri di dekat Kripa, tersinggung mendengar kata-kata Drona. Ia memang cepat naik darah.
"Guru selalu memihak Arjuna. Guru tidak mau membunuh Abimanyu," kata Duryudhana dengan curiga, seperti ketika mencurigai Bisma.
Memang, sejak kecil Duryudhana sudah berwatak buruk. Segala perbuatannya mendorongnya untuk menambah kesalahan dan dosanya. Kelak ia akan memetik karmaphala atas perbuatannya sendiri.
Dursasana metasa malu, tetapi juga benci dan iri melihat keberanian Abimanyu. Sambil berteriak lantang ia menantang Abimanyu,
"Hai anak muda, engkau pasti mampus di tanganku,"
Begitu selesai mengucapkan tantangannya, ia segera menyerbu. Serangannya dihadapi Abimanyu dengan mantap. Beberapa saat kemudian, Abimanyu dapat menaklukkan Dursasana.
Untuk terakhir kalinya, Abimanyu melontarkan bola besi, tepat mengenai kepala Dursasana. Kesatria Kurawa itu jatuh terkapar di dalam keretanya, tidak sadarkan diri. Untunglah, saisnya secepat kilat membawanya lari mundur untuk diselamatkan.

BATARAYUDHA DI KURUHSETRAWhere stories live. Discover now