LEGENDA SITU AGENG

3.9K 261 13
                                    

Ditulis oleh Sulizlovable

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ditulis oleh Sulizlovable

Ribuan tahun silam, di sebelah selatan kota Garut, terdapat desa bernama Desa Damai. Nama desa tersebut merepresentasikan keadaan di sana. Penduduknya ramah, mereka saling membantu, dan penuh toleransi. Mereka hidup tenteram dan penuh suka.

Desa Damai juga punya tanah yang subur sehingga mampu membantu para petani untuk menghasilkan banyak buah-buahan, sayuran, dan padi yang berkualitas. Sumber penghasilan terbesar penduduk Desa Damai adalah dari hasil panen dan karena hal itu, jumlah petani di desa tersebut cukup banyak. Biasanya mereka akan menjual hasil panen ke tengkulak untuk kebutuhan makan sehari-hari.

Namun, semuanya berubah saat Juragan Ageng mulai menguasai laju perekonomian penduduk Desa Damai. Tubuhnya jangkung dengan tinggi 175 cm membuatnya tampak gagah dan berwibawa. Pakaian yang dikenakannya selalu yang terbagus dan termahal. Tak lupa, untuk menyempurnakan penampilannya, Juragan Ageng selalu memakai perhiasan di tubuhnya, seperti gelang dan cincin. Semuanya berbahan dasar emas murni.

Usai istrinya—Nyai Asri—meninggal, Juragan Ageng mengambil alih pekerjaan Nyai Asri sebagai tengkulak. Tidak seperti sang istri, Juragan Ageng menjadi tengkulak yang semena-mena. Padahal ia mempunyai banyak warisan dari istrinya yang kebetulan sudah tidak punya siapa-siapa termasuk anak. Kendati demikian, Juragan Ageng masih belum puas dengan harta yang ia miliki.

Tak hanya terkenal pelit, Juragan Ageng adalah orang yang sombong. Ia kerap kali memaksa para penduduk agar menjual hasil panen mereka kepadanya dengan harga yang sangat murah dan setelah persediaan hasil panen penduduk sudah habis, Juragan Ageng bisa memanfaatkannya. Ia membalik keadaan dengan cara menjualnya kepada mereka, dan mengambil keuntungan yang sangat besar. Juragan Ageng menjual dengan harga yang meroket tinggi.

Penduduk tidak bisa menolak dan hanya bisa pasrah. Tiap kali penduduk menolak menjual hasil panennya, Juragan Ageng akan menyuruh anak buahnya memukuli mereka. Penduduk Desa Damai memilih diam dan hidup sengsara daripada kehilangan salah satu anggota keluarga.

"Juragan, saya mohon naikkan lagi harga penjualan hasil panen saya. Kalau hanya segitu saya tidak bisa membeli keperluan rumah tangga lainnya."

"Ini sudah harga sepadan. Kau lihatlah itu sayuranmu, wortelnya saja tidak terlihat segar. Jangan-jangan sayuran ini sudah lama dipanen," tuduh Juragan Ageng sekenanya. Penduduk bernama Wawan itu mendesah pelan, peluh di dahinya seakan tidak bermakna di depan lawan bicaranya. Juragan Ageng hanya mencari alasan agar bisa menjual dengan harga rendah.

"Tidak, Juragan. Sayuran ini baru tadi pagi saya panen lalu saya bersihkan. Mana mungkin layu. Lihatlah ini, masih sangat segar, Juragan." Perlahan Wawan mengeluarkan sayuran tersebut agar Juragan Ageng melihatnya dengan benar.

"Baiklah, aku percaya. Jadi, apa kau masih mau menjualnya padaku? Kalau kau masih keberatan, tidak masalah. Kau juga yang akan rugi sendiri," ujar Juragan Ageng jemawa dan Wawan pun hanya bisa setuju dengan keputusan semena-mena Juragan Ageng.

Dongeng para BintangWhere stories live. Discover now