PENYIHIR, SANG PUTRI, DAN SI TANGAN MERAH

972 49 4
                                    

Ditulis oleh HalfBloodElf

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ditulis oleh HalfBloodElf

Negeri Whitehaven gempar oleh kabar hilangnya putri kerajaan.

Sudah bertahun-tahun lamanya sejak pengumuman ditempel di alun-alun seluruh kota, yang mengungkapkan bahwa Putri Whitehaven telah diculik penyihir di puncak Gunung Merah di hari ulang tahunnya yang ketujuh belas. Raja menawarkan imbalan sepuluh ribu keping emas kepada siapa saja yang mampu membunuh sang Penyihir. Beberapa rakyat mencoba, mulai dari penjagal bertubuh besar hingga gelandangan kurus yang kelaparan. Namun, tidak ada satu pun yang berhasil mendaki lebih dari setengah jalan menuju puncak.

Desas-desus menyebar cepat bagai kobaran api. Penduduk tidak hentinya memperbincangkan ini di bar, pasar, bahkan di acara minum teh para bangsawan. Konon katanya, Gunung Merah memiliki mata yang tersembunyi di tanah sehingga setiap langkahmu diawasi dan selalu ada sulur yang siap mengikat pergelangan kakimu. Pria-pria bertubuh besar tidak mampu menghindari serangan bebatuan longsor dan yang lainnya terjebak dalam kubangan lumpur hisap. Gosip lain mengatakan seorang pemuda berhasil mencapai pondok Penyihir, tapi kemudian terlempar kembali ke depan pintu rumahnya sendiri dalam keadaan tidak waras.

Jervin sudah mengumpulkan beberapa aturan penting. Pertama, jangan menatap mata sang Penyihir. Kedua, jangan mendengar bisikan sang Penyihir. Ketiga, miliki sihir untuk mengimbangi kekuatan sang Penyihir.

"Taruhan lima keping emas kalau kau tidak akan berhasil," cemooh salah satu pengunjung bar.

"Hanya lima? Aku berani bertaruh sepuluh bahwa Jervin si Penjelajahlah yang akan membawa sang Putri pulang," kata pemilik bar. Dia memandang Jervin untuk memberi dukungan. "Aku percaya padamu, Jervin. Kau legendaris di kampung halamanku."

Tentu saja, Jervin bukan anak kemarin sore. Dia pernah mendaki gunung tertinggi, mengarungi samudra terluas, dan menjelajahi hutan terkejam sekalipun. Orang-orang menyebutnya Jervin si Penjelajah, Jervin Penakluk Troll, dan masih banyak lagi.

Maka, pagi-pagi sekali Jervin sudah bersiap-siap. Setelah menyimpan kertas pengumuman yang disobek ke sakunya, dia mengencangkan sabuk, menarik sarung tangan tebal, dan memasang sepatu bots. Selama perjalanan itu dia bersenandung, membayangkan sepuluh ribu keping emas yang membanjiri rumah kayunya. Kira-kira apa yang akan dia lakukan dengan harta sebanyak itu? Mungkin membeli rumah baru yang lebih besar dan dia masih akan memiliki sisa setengahnya lagi.

Dengan cekatan dia menghindari kubangan lumpur hisap dan hujan batu. Beberapa sulur nakal berlomba untuk menjerat kakinya, tapi dengan mudah ditepis Jervin dengan tongkat perjalanannya. Di lembah, dia berpapasan dengan kakek tua yang menghalangi jalannya.

"Pulanglah, Anak Muda," kata Kakek itu dengan suara serak. "Aku tahu apa yang ingin kau cari. Percayalah, aku sudah banyak melihat korban jiwa yang berjatuhan. Orang-orang pulang hanya dengan sebelah kaki, kehilangan mata, atau menjadi sinting."

Dongeng para BintangWhere stories live. Discover now