BAB 6 : Tiga Tes di Hari Ketiga

16 3 4
                                    

Di depanku, terlihat sebuah villa terbakar, diiringi dengan teriakan orang-orang berlari ke sana kemari mencari pertolongan.

Di antara teriakan itu, suara seorang perempuan dari dalam villa yang sudah terbakar menggema di telingaku.

"Kyu-kun, tolong aku ...."

Mendengar itu, akupun berlari sekuat tenaga sambil menutup mulut dan hidung, menembus kabut asap dengan tubuh kecilku ke arah di mana suara itu berasal.

Terjebak di tengah merah nyala kayu terbakar, ia terus menyerukan namaku sembari meminta tolong.

Tanpa memedulikan wajahnya yang buram di mataku. Aku dengan cepat berlari sambil menghindari beberapa bongkah kayu terbakar yang berjatuhan.

Namun sebelum sempat menggapai tangannya, suara kayu di atas kepala membuatku refleks mengangkat kepala ke atas.

Seketika, kayu yang terbakar itu jatuh tepat di kepala. Membuatku terkejut bukan main, lalu terbangun di atas kasur yang terasa familiar.

Akupun bangun—duduk di ranjang sambil memegang kepalaku yang terasa sedikit nyeri.

"Sial, sudah tiga kali aku memimpikan hal itu." Keluhku.

"Padahal aku tidak pernah sengaja mengingat kejadian itu. Kenapa akhir-akhir ini aku memimpikan itu lagi?"

Tanda tanya dan sedikit rasa nyeri memenuhi kepala. Tak bisa memikirkan hal lain, selain mimpi yang terus muncul itu.

Kutarik napas panjang lalu kubuang secara perlahan, mencoba untuk menenangkan diri agar rasa sakitnya menghilang.

"Firasatku mengatakan, ini ada hubungannya dengan tiga perempuan merepotkan itu."

"Tapi sebaiknya, aku jangan gegabah. Kalau tidak, program ini yang akan jadi bayarannya." Sambungku.

Aku mengangguk dengan ucapanku sendiri, kemudian berdiri dari kasur dan kuregangkan badan yang terasa kaku ini.

Tak berselang lama, ketukan pintu terdengar.

"Kakak, bentar lagi waktunya sarapan. Jadi siap-siap ya!" seru adikku dari balik pintu.

"Oke." Balasku menanggapinya.

Dengan cepat, kucuci muka, memakai seragam, lalu bergegas sarapan agar tidak terlambat masuk ke sekolah.

***

"Karena sudah lengkap, sekarang aku akan memberi kalian tes sesuai dengan arahan yang diberikan Ohara-sensei."

Tumpukan kertas yang berisi soal, kutaruh satu persatu di meja belajar mereka.

Masing-masing dari mereka memberikan ekspresi yang berbeda, melihat tumpukan kertas itu.

Katsubaki terlihat pasrah sambil tertawa tipis, Sakuraba terdiam menunduk—memikirkan sesuatu, dan Orimu nampak cemas.

"Itu adalah soal yang sudah sesuai dengan kemampuan masing-masing dari kalian. Setidaknya nilai di atas 50, baru kalian lulus." Jelasku.

"Oy, bukankah seharusnya 40 ya? Kenapa malah 50? Kau ingin kami gagal ya, preman pintar?!" protes Orimu.

Kutatap tajam ia, lalu kubantah. "Sudah kubilang sebelumnya, ini adalah soal yang sudah sesuai dengan kemampuan kalian. Jika kalian tidak bisa mencapai nilai di atas rata-rata, maka kemampuan mengingat kalian yang bermasalah."

Giginya bergeretak, tak bisa membalas. "Geeeh."

"Dan berhenti memanggilku preman. Tolong panggil aku guru pembimbing, mulai dari sekarang."

"Kawahara-san~"

"Hmm, Kawahara-kun."

"Preman pembimbing."

Project Revenge Do i going to help them get their Revenge?Where stories live. Discover now