BAB 7 : Jarak Rata-Rata Antara Mimpi dan Kenyataan

9 2 2
                                    

Bel lonceng pertanda istirahat telah berbunyi. Semua siswa di dalam kelas segera kembali melakukan aktivitas mereka seperti biasa, setelah bapak guru pergi dari kelas.

Aku yang tak membawa bekal, hanya bisa menghela napas sembari melihat beberapa siswa membuka bekal mereka yang terlihat begitu harum menggoda.

Bunyi perut tak dapat ditahan lagi, membuatku cepat-cepat berdiri dari kursi, lalu berjalan menuju ke kantin untuk membeli beberapa roti.

Di tengah perjalanan dengan perut kosong. Aku teringat kembali obrolanku dengan Sakuraba semalam.

Saat itu, di sore hari, dengan latar suara teriakan semangat para siswa di lapangan. Sakuraba terdiam menundukan kepala, memikirkan jawabannya, setelah kutanyakan hal itu.

Ia angkat kepala, lalu menatapku penuh bingung. "Waktu SD?"

"Hmmm ... rasanya, aku tidak pernah bertemu dengan seseorang yang punya mata tajam dan aura preman sepertimu waktu SD." Sambung ia mengejekku.

Yang benar saja? Di saat serius begini, dia terus saja menyelipkan candaan nyelekit.

Tak memedulikan ejekannya, akupun kembali bertanya. "Apa benar begitu?"

Sadar aku tak menanggapi candaannya, dan melihat ekspresiku sama sekali tak berubah. Sakuraba batuk kecil—membasahi tenggorokannya.

"Pertanyaan ini, apa ada hubungannya dengan luka bakar yang kau terima itu?" tanya ia kembali.

Wajah datar dan dingin Sakuraba, membuatku tak bisa membaca maksud dari pertanyaannya itu. Yang pada akhirnya, akupun harus berkata jujur.

"Iya." Balasku singkat.

"Oke, kalau begitu, maaf saja. Aku tidak pernah bertemu denganmu saat masih SD."

Selama beberapa detik, aku terus menatapnya. Mengamati gerakan tubuh dan perubahan sikap, yang apakah ia memang menjawab jujur atau itu hanyalah kebohongan belaka dari mulut dinginnya itu.

Namun nyatanya, selama beberapa detik, ekspresi Sakuraba yang datar sama sekali tak berubah. Itu berarti, ia memang jujur menjawab.

Atau mungkin saja, Sakuraba sudah merencanakannya jauh hari agar ia tidak ketahuan. Ini juga berlaku pada mereka berdua.

Sepertinya untuk sekarang aku tidak perlu terburu-buru. Masih ada banyak PR yang perlu dikerjakan sebelum mengetahui siapa perempuan di balik mimpiku itu.

"Alasamu ingin tahu itu, apa karena kau tidak ingin dikasihani?"

Pertanyaan yang begitu tiba-tiba darinya, membuatku tersentak dan tanpa sengaja menggerakan kursi.

Sial, aku tidak tahu ia bisa sampai menebak benar hal itu segala tiba-tiba begini. Dia ini peramal, kah? Atau, memang dia orangnya?

Iya, aku benci merasa dikasihani. Hanya karena aku menolongnya di masa lalu, bukan berarti ia dapat seenaknya muncul di depanku lalu sembunyi tangan dan melakukan hal semaunya.

Dikasihani, hanyalah bentuk lain hubungan dari seseorang untuk mengikat diri mereka secara paksa dengan orang. Dampak dari hal itu, akan membuat seseorang tak dapat berkembang maupun mengekspresikan diri mereka.

Hubungan yang terjalin dari rasa kasihan, juga tidak menghasilkan apa-apa selain kekecewaan antar kedua belah pihak.

Karena itulah, jika aku menemukan orangnya. Maka aku akan mengakhiri hubungan rusak itu.

Jawaban itu tetap kusimpan dalam hati, lalu kembali bertanya. "Kalau iya, memangnya kenapa?"

"Tidak ada apa-apa. Hanya menebak-nebak saja."

Project Revenge Do i going to help them get their Revenge?Where stories live. Discover now