Fairy Castle Cactus

52 12 6
                                    

Sempurna. Semua kaktus sudah tersusun rapi sesuai dengan jenis dan ukurannya. Butuh waktu satu jam lebih untuk merapikan, memberi mereka minum dan makanan bergizi alias pupuk. Kalau bukan hari Senin, mana mungkin aku punya waktu sebanyak ini untuk mengurus koleksi kaktus yang jumlahnya hampir seratus? Pada hari Senin, aku  baru akan mulai kerja pukul lima sore, berbeda dengan hari lainnya yang dimulai dari pukul tiga sore.

Aku menatap green house peninggalan Papi yang sebenarnya sudah tidak layak disebut green house. Selama sembilan tahun, aku baru merenovasi satu kali. Sekitar empat tahun yang lalu, ketika Mami masih sehat dan tentu saja keuangan kami masih terbilang stabil. Itu pun, aku hanya mengganti atapnya yang menggunakan plastik UV dengan jaring serangga yang jauh lebih murah. Untuk kerangkanya masih cukup kokoh karena terbuat dari alumunium. Sekarang, kondisinya jauh lebih memprihatinkan karena jaring serangga sudah banyak yang jebol. Dengan kondisi seperti ini, rasanya nyaris tidak ada harapan untuk mengganti dengan jaring serangga yang baru. Membeli beras jauh lebih penting dari pada membeli jaring serangga.

Aku mengamati kaktus yang berukuran sekitar sepuluh sentimeter. Cereus tetragenus atau lebih populer dengan nama Fairy Castle, merupakan salah satu kaktus yang Papi belikan di pameran bunga sebelum beliau meninggal. Tentu saja, ini bukan kaktus asli pemberian Papi. Saat berumur delapan tahun, aku belum bisa merawat kaktus dengan baik sehingga kaktus penuh kenangan itu mati membusuk. Kaktus yang ini aku dapat dari adik Papi, Tante Devina saat ulang tahunku yang ke 12 tahun. Ini pun hasil anakan yang entah generasi ke berapa.

Saat lulus SD, aku belajar mengembangbiakkan kaktus secara otodidak. Sejak saat itu, aku hobi mengoleksi semua jenis kaktus. Aku rela menghabiskan waktuku hanya untuk melihat kaktus. Karena dengan berada di dekat kaktus, aku merasa Papi sedang berada di dekatku, ikut memandangiku, dan memberi kenyamanan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Ponselku berbunyi dengan nada khusus yang kuatur untuk alarm. Sebelum berangkat kerja, aku menghampiri Mami yang tengah berbaring di sofa depan Tv.

“Kalau Mami udah ngantuk, jangan nunggu Kalova pulang. Tidur duluan aja, tapi jangan lupa suntik insulin ya, Mam.”

Mami mengubah posisi tidurnya. “Beres, Sayang. Kamu hati-hati kerjanya, ya. Jangan teledor.”

Aku memeluk mami dan menciumnya bertubi-tubi sebelum meninggalkan rumah. Ada rasa sedih saat meninggalkan Mami sendirian di rumah. Bayang-bayang kejadian satu tahun pasca Papi meninggal jujur saja membuatku trauma. Mami melakukan percobaan bunuh diri dengan menenggak cairan obat nyamuk semprot. Meskipun setelah itu, Mami berjanji tidak akan melakukan hal bodoh itu lagi.

*

Aku menyerahkan catatan berisi daftar pesanan pelanggan ke pantri. Kemudian mengambil penampan berisi honey cake dan lemon tea untuk meja nomor sembilan.

“Selamat menikmati,” ucapku sambil tersenyum.

Setelah memastikan nggak ada pelanggan datang, aku duduk di meja dekat pantri. Hari Senin memang tidak seramai hari lainnya yang suoer sibuk. Aku bahkan hampir tidak memiliki waktu untuk sekadar ke toilet.

“Belajar lagi?” tanya Lusi yang lebih terdengar seperti sebuah sindiran. “Kalo memang nggak ada waktu buat kerja, ya jangan kerja.”

Aku mengulum senyum kecut kepada pelayan yang baru bekerja enam bulan itu. “Kayaknya sebelum Mbak kerja di sini, nggak ada tuh yang merasa keberatan. Lagian lagi nggak ada pengunjung.”

“Nggak profesional banget!” ketusnya, kemudian berlalu begitu saja.

Ya, aku tahu. Seharusnya aku nggak bisa seenaknya mengerjakan tugas saat jam kerja. Namun, toleransi ini menjadi sebuah syarat wajib yang aku berikan kepada Tante Devina. Aku nggak mau beasiswaku dicabut dan menerima bantuan Tante Devina lagi untuk membayar sekolah. Sudah cukup banyak bantuan dari Tante Devina. Aku nggak mau lebih banyak merepotkan beliau. Bukankah, semakin banyak bantuan yang kita terima, semakin banyak pula hutang budi yang harus kita bayar?

Ada pelanggan datang berjumlah empat orang. Aku menghampiri meja nomor tujuh dan memberikan buku menu. Kalau boleh menebak, salah satu di antara mereka ada yang dalam pengaruh alkohol. Matanya merah dan meracau nggak jelas. Dalam beberapa detik, nggak terhitung berapa kali temannya menjitak kepala bocah mabuk itu.

Spaghetti balognese, nasi goreng cumi hitam dan french fries. Minumannya ada blue ocean drink, lemonade mocktail dan boba milk tea.” Salah satu dari mereka mengangguk. “Baik. Mohon ditunggu sebentar, ya. Terima kasih.”

Setelah minuman selesai dibuat, aku langsung mengantar ke meja nomor tujuh. Baru beberapa detik minuman pertama kuletakkan di meja, tapi salah satu dari mereka menyenggol gelas berisi lemonade mocktail. Tumpahannya mengenai apron dan sepatuku. Yang lebih sialnya lagi, aku melihat muntahan salah satu dari mereka di lantai. Perutku seperti ditonjok hingga merasakan sensasi mual. Aku meletakkan penampan berisi dua minuman lagi ke maja, kemudian menuju ke toilet untuk mengeluarkan isi perut.

Sial! Kalau tidak sedang bekerja, mungkin aku sudah memaki mereka dan meminta pertanggung jawaban. Lihat saja kalau sampai ketemu lagi!

___________________________________________

Hai-hai ...
Ada yang seperti Kalova? Lihat orang muntah auto nyetrum🙈🙈

Oh ya, rencananya cerita ini bakal update setiap hari. Kalo kamu suka ceritanya jangan lupa vote. Jangan sungkan untuk meninggalkan jejak di kolom komentar juga, ya😘

Fyi;
Castle Fairy Cactus berasal dari Amerika. Tinggi setiap batangnya berbeda dan bertingkat sehingga menyerupai kastil di negeri dongeng. Kaktus ini cicok menjadi penghias jendela rumah dan ditanam outdoor. Tingginya bisa mencapa 2 meter, lho.

Kalova & SadewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang