Lithops

20 2 1
                                    

“Kalova makan malam di sini aja. Tante sudah masakin menu spesial,” kata Tante saat aku hendak pamit pulang.

“Terima kasih banyak Tante, tapi Kalova harus segera pulang,” tolakku secara halus.

“Gimana jadi guru Sadewa sehari? Sudah ada niatan mau resign belum?” sindir Mama Sadewa sambil melirik ke arah anaknya.

“Su ... dah. Sudah biasa, maksudnya Tante,” ucapku sambil meringis. Hampir saja keceplosan. Aku membuang waktuku selama tiga jam lebih hanya untuk bermain dengan adiknya yang super aktif. Sadewa? Dia sibuk bermain game online tanpa menghiraukan aku.

Aku yakin sebenarnya Mama Sadewa tahu akan hal ini. Namun beliau nggak mengambil tindakan apapun. Atau jangan-jangan, pekerjaanku beralih fungsi menjadi baby sitter si Kembar. Aku jarang sekali berinteraksi dengan anak kecil. Bagiku, mereka itu berisik dan menyebalkan. Mereka suka berbuat semaunya sendiri.

Contohnya saja hari ini. Mereka memaksaku bernyanyi, bermain boneka, bahkan membacakan cerita. Ketika aku protes dengan Sadewa, dia hanya tertawa dan memintaku untuk beradaptasi. Kalau bukan karena tanggung jawab, aku sudah pergi sejak si Kembar datang menghampiriku.

Baru keluar beberapa langkah dari rumah Sadewa, sebuah motor berhenti di sampingku. Sadewa memberikan helm dan memintaku naik ke motornya. Seumur hidup, aku belum pernah dibonceng cowok. Apalagi pakai motor gede begini.

“Mama minta gue nganterin lo,” kata Sadewa setelah aku menolak naik ke motornya.

“Kan, gue udah bilang. Gue bisa pulang sendiri,” kataku sambil terus berjalan.

“Astaga! Kenapa cewek selalu drama, sih. Tinggal naik aja apa susahnya.” Sadewa turun dari motor, lalu menarik lenganku. “Naik.”

“Wa, gue ....” ucapanku terpotong ketika melihat Sadewa melotot kearahku. Aku takut bola matanya yang berwarna kecokelatan lepas dari rongganya. Hatiku memang berkata tidak, tapi entah mengapa tangan dan kakiku justru bergerak naik ke atas motornya.

“Pegangan!” teriak Sadewa.

Aku refleks memegang behel motor belakang. Rasanya aneh jika aku harus pegangan pinggang Sadewa. Kalau ada anak SMA Xavier yang tahu, bisa jadi gosip hot tingkat internasional.

“Terserah lo, deh,” tukas Sadewa sambil menyalakan mesin motor.

Aku berulang kali menjerit saat Sadewa berusaha menyalip mobil truk atau fuso. Aku berharap nggak ada kamera tersembunyi yang berhasil merekam ekspresi wajahku saat terkena terpaan angin kencang. Setelah ini, aku bakal menghabiskan banyak waktu untuk menyisir rambut panjangku yang ruwet. Sialan!

“Lo mau bikin gue mati, ya?!” tukasku saat motor berhenti di depan rumahku.

Bukannya merasa bersalah, dia justru tertawa  yang lebih terdengar seperti ejekan. “Senam jantung dikit, lah.”

“Sumpah, ya. Lo itu nyebelin! Kalo lo ngga serius, mending jangan dilanjutin. Buang-buang waktu gue aja!”

Sorry,” ucapnya. “Besok nggak lagi, deh. Janji!”

Aku menatapnya sinis selama beberapa detik. Dia menahan tawa sambil menatap langit yang berwarna jingga. Tanpa basa-basi lagi, aku segera masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Dari balik tirai jendela, aku mengintip Sadewa yang masih berdiri mematung. Dari jauh seperti ini, aku ragu apakah pandangan matanya tertuju ke rumahku atau nggak.

“Siapa, Va?” tanya Mami membuatku berjingkat.

“Mamiii,” panggilku seolah protes dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Aku menutup gorden dengan cepat. Lalu menggandeng tangan Mami untuk kembali ke ruang Tv.

Kalova & SadewaWhere stories live. Discover now