Euphorbia Submamilaris.

20 3 0
                                    

Bel di pantri berbunyi. Pesanan untuk meja nomor empat sudah siap. Aku menghembuskan napas panjang. Berhadapan dengan Sadewa selalu saja memicu kekesalan. Jadi sebisa mungkin aku nggak terpancing emosi. Yah, sebenarnya dia nggak jahat. Hanya saja karena first impression-nya sudah buruk, jadi terbawa sampai sekarang.

“Selamat menikmati,” ucapku setelah selesai menyajikan yellow truffle carbonara dan ice lychee tea.

Dia mengangkat sebelah alisnya, kemudian mengangguk. “Kal, tadi gue belum selesai ngomong.”

“Gue lagi kerja. Nggak punya waktu buat ngeladenin kamu,” ketusku.

“Oke. Gue bakal nunggu lo sampai punya waktu.”

Sebodo amat dengan ucapannya barusan. Aku segera beralih ke meja nomor sembilan untuk mencatat pesanan, kemudian ke pantri untuk menyerahkan daftar pesanan. Setelah itu lanjut membereskan meja yang dipenuhi piring-piring kotor. Semua itu kulakukan secara berulang selama satu jam, sampai akhirnya aku menyadari kalau Sadewa belum juga pulang.

“Mau lo apa sih? Gue risih liat lo di sini,” tukasku. Aku tahu ini nggak sopan, tapi untuk pengunjung yang nggak tahu diri macam Sadewa harus diberi pelajaran.

“Duduk,” perintahnya.

Anehnya aku menurut dan menyilangkan kedua tangan. Ikan sepat, ikan gabus. Lebih cepat, lebih bagus. Aku sengaja nggak mau menatap ke arahnya yang duduk tepat di depanku. Jadi aku memutuskan untuk menoleh ke arah jendela dan memusatkan perhatian pada kaktus euphorbia submamilaris.
To the point aja. Gue mau lo jadi guru les privat gue. Masalah bayaran nggak usah khawatir. Gue bakal bayar sesuai kemauan lo, asal nilai gue bisa naik.”

“Gue nggak mau,” jawabku dengan cepat. Bertemu tiga kali, ketiban sial dua kali. Aku nggak mau ketiban sial berkali-kali gara-gara sering bertemu.

“Alasannya?”

“Gue nggak kenal lo tuh siapa. Gue nggak tahu apa motif lo minta gue jadi guru les privat. Satu lagi, gue masih sayang sama nyawa dan nggak mau kena serangan stroke di usia muda gara-gara emosi setiap berhadapan sama lo.”

“Pertama, kalo lo merasa belum kenal sama gue. Perkenalkan nama gue Sadewa. Kedua, gue nggak punya motif terselubung. Gue cuma ingin nilai gue bagus. Ketiga, gue janji nggak bakal bikin lo emosi,” jelasnya. “Mau ya, Kal?”

“Nggak!” jawabku singkat, padat, dan jelas.
Aku mengambil dan gelas yang sudah berada di atas penampan, kemudian beranjak pergi. Selang beberapa menit, aku sempat mencuri pandang ke arah Sadewa. Akhirnya dia menyerah dan keluar kafe dengan langkah gontai.

Baiklah, mari kita lupakan kejadian barusan dan fokus dengan pekerjaan. Masih tiga jam lagi, tetapi kakiku sudah pegal. Nggak terhitung berapa kali aku naik turun tangga. Kalau begini, tanpa olah raga angkat beban pun badanku sudah kurus.

Tante Devina keluar dari ruangannya. Ia menyapaku sebentar kemudian pamit pulang. Dia memiliki dua rumah. Di Jakarta dan Depok. Sayangnya, dua rumah mewah itu hanya ditinggali satu orang, yaitu Tante Devina. Asisten rumah tangga hanya datang saat bersih-bersih saja.

Usia Tante Devina sudah menginjak angka tiga puluh, tetapi masih belum menikah. Alasannya, karena belum nemu yang cocok. Namun kalau aku boleh berpendapat, ia belum menikah karena terlalu asyik menikmati kehidupannya sebagai seorang model.

Aku ngeri ketika melihat pakaian Tante Devina yang sangat terbuka ketika sedang bekerja. Kalau aku jadi dia, mungkin satu botol minyak angin hanya bertahan tiga hari karena masuk angin. Meskipun begitu, Tante adalah orang terbaik sepanjang sejarah. Dia nggak pernah mempermasalahkan uang. Namun aku yang tahu diri. Mempunyai hutang budi itu menyiksa. Begitulah kata Mami, saat Tante Devina menawariku sepeda motor baru secara gratis.

Kalau dipikir-pikir, memang benar. Hutang uang, dibayar uang dengan jumlah yang sama; Lunas. Hutang budi dibayar dengan kebaikan. Sayangnya tidak ada ukuran khusus untuk mengukur tingkat kebaikan seseorang, sehingga terus dihantui perasaan nggak enak.

“Lo tadi di apain sama big bos?” tanya Mbak Lusi saat aku sedang mengepel toko.

“Ditampar.”

“Serius?”

“Ya, enggaklah. Anak kesayangan, masak ditampar,” jawabku asal yang dibalas dengan tatapan sengit. Menghadapi Mbak Lusi ini susah-susah gampang. Kita nggak boleh terlihat lemah kalau nggak ingin terus-terusan diintimidasi.

Aku mengecek loker dan melihat belasan panggilan tak terjawab dari Mami. Seketika itu jantungku berdetak lebih kencang. Pikiranku sudah nggak karuan. Semoga Mami dalam keadaan baik-baik saja. Semoga nggak terjadi hal buruk. Hatiku terus merapalkan doa-doa yang baik. Aku berulang kali mengatur napas agar tidak panik. Rasa pegal di kakiku seakan sirna, karena pada kenyataannya aku masih bisa menggowes sepeda dengan cepat.

Lampu ruang tamu masih menyala, pertanda Mami belum tidur. Air mataku sudah hampir jatuh. Nggak. Nggak akan terjadi apa-apa dengan Mami. Be positive, Kalova.

“Mam,” panggilku lirih saat Mami terbaring lemah di sofa ruang TV. Mami nggak bergerak, namun mulutnya mengeluarkan suara rintihan. Badannya berkeringat dingin. Yang ada dalam pikiranku hanyalah kadar gula darah Mami. Memasuki jam tengah malam begini, apotek di kompleks rumahku sudah tutup.

Pikiranku benar-benar kacau. Air mataku sudah mengalir dengan deras. Pikiran buruk sialan itu kembali bersarang di dalam otakku. Nggak. Aku nggak akan kehilangan Mami. Semua akan baik-baik saja. Aku segera membuka aplikasi ojek online dan mengetik nama rumah sakit Medika. Pada layar ponsel tertulis waktu menunggu selama 10-15 menit.

Nggak ada pilihan lain. Maaf Tante Devina, lagi-lagi aku harus merepotkanmu. Aku menelepon Tante Devina berkali-kali hingga akhirnya diangkat pada panggilan ketujuh.

____________________________________________

Fyi;

Euphorbia submamilaris adalah jenis kaktus yang memiliki bentuk batang menyerupai tongkol jagung. Kaktus ini berwarna hijau tua atau agak putih dengan bentuk yang tegak dan berduri. Kaktus ini cocok di tanah basah maupun kering, tapi harus tetap terkena sinar matahari.



Haiiii!
Syukur Alhamdulillah bisa update lagi. Sungguh godaan nonton sama baca novel ini luar biasahh, wkwk

Btw, lucu banget yaa kaktus euphorbia submamilaris ini. Jadi pengen punya, deh😍
Pengin liat koleksi kaktus Kalova selanjutnya? Vote dulu dooong biar Mbak Author ini makin semangat lagi nulisnyaaa *hiyaaah🤣

Kalova & SadewaWhere stories live. Discover now