Astrophytum Asterias

39 9 4
                                    

Mang Ode membawa alat pel sambil bersenandung. Aneh. Mengapa beliau kelihatannya girang sekali? Kalau aku jadi Mang Ode, aku nggak akan sudi membersihkan muntahan bocah nggak sopan tadi. Well, pembeli memang raja. Namun, kami juga bukan babu yang bisa seenaknya disuruh-suruh. Seharusnya, mereka bertanggung jawab membersihkan muntahan itu. Bukan main kabur seenaknya saja. Bahkan, menu pesanan belum juga dimakan.

Aku menatap pantulan wajahku di cermin depan toilet. Menahan senyum selama lima detik, penting untuk mengendalikan rasa kesal yang menjalar hingga ke ubun-ubun.

"Neng Kalova sih tadi main kabur ke toilet aja," kata Mang Ode setelah menaruh alat pel-pelan.

"Siapa yang tahan lihat muntahan sebanyak itu, Mang?"

Pria jangkung itu tertawa. "Iya, sih. Tapi mereka ngasih uang tips ke Mamang. Lumayan. Gaji kita satu minggu."

"Seriusan?" tanyaku nyaris tak percaya. Yah, anak sultan mah bebas. Bisa membayar semuanya dengan uang. Namun percayalah, aku sama sekali tidak respect dengan kelakuan mereka yang seperti itu.

Mang Ode mengangguk. "Kalau tadi Neng Kalova masih tetap di sana, pasti dia juga ngasih uang tips ke kamu."

Aku hanya tersenyum kecut kemudian pamit bekerja kembali. Mau dibayar dengan gaji sebulan, pun aku nggak bakal sudi. Pertama, aku nggak bisa bersihin muntahan karena auto nyetrum. Kedua, aku nggak akan sudi membersihkan muntahan orang yang tidak mempunyai tata krama. Kalaupun tatakrama mereka baik, tetap kembali pada poin pertama.

Ponselku bergetar saat aku berjalan menuju pantri. Mendapat telepon dari Mami selalu membuatku takut. Aku takut mendengar hal buruk. Apalagi mengenai kondisi kesehatan Mami yang selalu naik-turun.

"Ya, Mam. Tumben telepon jam segini?" tanyaku setelah mengucap salam.

"Maaf Mami mengganggu waktu kerjamu, Va. Nggak ada apa-apa. Mami cuman mau bilang, kalau ada uang, tolong belikan Mami kentang sama ubi, ya."

"Siap, Mam. Nanti kalau masih ada warung yang buka, Kalova belikan."

"Terima kasih ya, Nak. Hati-hati kerjanya," ucap Mami sebelum menutup telepon.

Aku menuju loker dan mengecek isi dompet.

Cukup mengenaskan. Hanya ada dua lembar pecahan lima ribuan. Patah hati yang sesungguhnya adalah ketika kita nggak bisa kasih apa yang ibu kita minta. Bukan emas. Bukan juga berlian. Mami cuma minta kentang dan ubi tapi, aku nggak bisa mengabulkannya.

Aku tidak mungkin berbohong kalau toserba Pak Haji Darto tutup, karena faktanya baru akan tutup jam 12 malam. Sebelum air mataku terjatuh, aku segera kembali bekerja. Mendengar denting piring dan sendok yang saling bergesekkan jauh lebih baik dari pada mendengar jeritan hatiku sendiri. Terlalu menyedihkan. Ya, terkadang menyibukkan diri merupakan cara paling ampuh untuk melupakan kesedihan.

Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, tapi pengunjung kafe masih terus berdatangan meskipun hanya satu-dua. Kebanyakan dari mereka masih memakai baju kantor dan berkutat dengan laptop.

Dulu, aku berpikiran menjadi orang dewasa itu enak. Bisa bekerja dan menghasilkan uang sendiri. Namun seiring bertambahnya umur, aku merasa hidupku justru dipenuhi banyak masalah. Terutama dari segi ekonomi. Nggak perlu menunggu lulus sekolah, aku sudah bekerja paruh waktu agar dapurku tetap ngebul.

Ya, aku memang tidak pernah menyesal telah dilahirkan di dunia ini. Hanya saja, aku menyesal nggak bisa melakukan yang terbaik untuk Mami. Aku merasa nggak punya banyak waktu untuk merawatnya. Waktuku hanya fokus untuk bekerja dan belajar, agar beasiswaku tidak dicabut. Untuk ukuran siswa dengan ekonomi rendah sepertiku, mengandalkan beasiswa prestasi adalah jalan ninjaku.

Lamunanku buyar ketika mendengar bel dari pantri. Pesanan untuk meja nomor 3 sudah siap. Aku segera bergegas mengantarnya dan beralih ke meja nomor 5 untuk membereskan piring kotor. Dari 17 meja yang ada di dalam kafe Vintage, hanya ada dua yang terisi. Tinggal menunggu mereka pulang, maka kafe ini akan tutup. Meskipun di luar sudah ada tulisan tutup pukul 11 malam, tapi masih banyak pelanggan betah berlama-lama sampai pukul 11 lebih.

Aku heran, apakah mereka lupa waktu sangking asyiknya menikmati hidangan makanan, atau sengaja berlama-lama untuk menikmati wifi gratis? Tidak tahukah mereka, bahwa semua pegawai ingin pulang tepat waktu agar bisa segera istirahat?

Aku mengamati empat pot yang berisi kaktus mungil yang terletak di dekat jendela dapur. Kaktus bintang berhasil menyita perhatianku. Berbeda dengan kaktus kastil yang berumpun, kaktus bintang hanya berdiri satu batang. Batangnya hampir memenuhi pot mungil berwarna putih dan kuning. Lucu dan menggemaskan. Yah, bahagiaku memang sesimpel itu. Melihat kaktus selalu bisa membuat mood-ku kembali stabil.

"Woy! Beresin tuh, meja depan!" teriak Lusi yang membuat jantungku nyaris lompat. Rasanya, aku ingin melempar bunga mawar yang ada di depan kafe, tapi sekalian sama potnya.

____________________________________________

Haiiii ....
Bab kedua sudah tayang. Semoga bisa menghibur kalian ya, Guys. Jangan lupa komen biar aku makin semangat lagi nulisnya, hehee

*Fyi
Astrophytum asterias atau biasa disebut dengan Kaktus bintang berasal dari Amerika Serikat dan Meksiko. Bentuknya unik menyerupai bintang. Kaktus ini juga biasa disebut kaktus landak laut.

 Kaktus ini juga biasa disebut kaktus landak laut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kalova & SadewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang