Gymnocalycium Red Ruby

27 7 4
                                    

Syukurlah Mami sudah tidur ketika aku sampai rumah. Jadi, masih ada waktu untuk mengarang alasan mengapa hanya membawa tiga buah kentang. Nggak. Aku nggak bermaksud ingin membohongi Mami. Aku cuma ingin menata kalimat sehalus mungkin agar tidak membuatnya bersedih.

Setiap kali Mami tahu isi dompetku yang mengenaskan, beliau selalu merasa bersalah dan ujung-ujungnya nangis. Ibarat kata, sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sudah isi dompet miris ditambah liat Mami nangis. Sedihnya double, Cuy!

Aku mengambil buku tugas Bahasa Inggris di kamar dengan ekstra hati-hati dan membawanya ke dapur. Sambil menunggu air untuk mandi mendidih, aku memanfaatkan waktu untuk mengerjakan tugas. Nggak lama, sih. Tapi lebih baik dari pada main sosmed yang cuma ngabisin kuota.

Baru saja membuka buku, pintu kamar berderit. Mami keluar untung buang air kecil lalu ikut duduk di kursi makan.

“Kentang sama ubinya ada, Va?” Pertanyaan yang sebenarnya tidak ingin kudengar. Setidaknya untuk malam ini saja.

“Baru dapet kentangnya aja, Mam. Besok pulang sekolah Kalova beliin ubinya. Nggak apa-apa kan, Mam?”

Mami menggeleng sambil tersenyum. “Belum ada uangnya, ya?”

Jleb!

Aku nggak mengiyakan atau pun menggeleng. Aku hanya mengulum senyum tipis. Yah, lidahku terlalu kelu untuk mengatakan yang sebenarnya.

“Maafin Mami ya, Va,” ucap Mami.

Nah, mulai. Aku benci obrolan yang dibuka dengam kalimat itu. Karena urusannya bakal panjang. Bikin nangis bombay. Bikin diriku patah semangat karena ikutan merasa bersalah. Namun, Mami nggak pernah mengerti kalau aku membenci kata maaf yang keluar dari mulut Mami. Aku pun nggak bisa mengutarakan apa yang kumau. Termasuk, meminta Mami berhenti mengucapkan kata maaf.

“Tidak ada kesalahan, kenapa harus meminta maaf, Mam?”

“Gara-gara Mami sakit, kamu harus ....” ucapan Mami menggantung karena teko yang kupakai untuk merebus air mengeluarkan bunyi seperti siulan.

Aku beranjak untuk mematikan kompor.

“Kita bahas nanti ya, Mam. Kalova mandi dulu. Takut airnya dingin,” tuturku yang dibalas oleh sebuah anggukan dari Mami. Kata 'nanti' di sini tidak dapat dipastikan kapan. Bisa saja besok pagi, minggu depan, atau bahkan bulan depan.  Aku sih berharapnya, Mami melupakan percakapan barusan.

***

Mataku lengket sekali seperti diolesi lem besi. Namun suara adzan subuh yang menyerukan, “shalat itu lebih baik dari pada tidur” berhasil menamparku. Sebelum para setan berhasil menggoda, aku segera melesat menunaikan kewajiban. Aku mengharamkan tidur setelah salat subuh untuk diriku sendiri kecuali kalau  sedang PMS atau sakit.

Rutinitas sebelum berangkat ke sekolah adalah menyuntik insulin ke tubuh Mami menggunakan insulin pen.

“Mam, hari ini jadwal kita check up, ya?” tanyaku sambil membersihkan area yang akan disuntik menggunakan kapas alkohol.

“Iya. Mundur aja nggak apa-apa. Gajiannya masih Minggu depan, kan?”

“Urusan biaya serahin ke Kalova aja. Tugas Mami cuma satu. Jaga kesehatan.” Aku menembakkan insulin pen ke area perut. Tidak ada ekspresi apa pun dari wajah Mami. Mungkin sudah kebal karena telah menjadi rutinitas selama setahun ini.

Kalau aku, jangan ditanya, deh. Lihat jarum suntik yang panjang aja langsung merinding. Kali ini, aku berterima kasih kepada teknologi yang sudah menciptakan insulin pen. Jadi, aku nggak perlu lihat jarum suntik panjang setiap hari.

“Sudah dijaga tapi nggak sembuh-sembuh,” kata Mami.

“Kuncinya itu semangat, Mam. Kalo cuma Kalova yang semangat, tapi Mami enggak ya percuma,” jelasku. “Sini coba lihat lukanya, Mam.”

Mami mengangkat kaki kanannya. Tepat di atas betis terdapat luka akibat infeksi. Awalnya hanya berupa luka kering yang lebarnya hanya sekitar satu sentimeter. Karena nggak segera mendapatkan perawatan, sekarang lukanya bertambah besar dan menjadi luka basah.

Sudah hampir satu tahun luka di kaki Mami nggak sembuh-sembuh. Sudah berulang kali juga aku mengingatkan Mami untuk nggak makan nasi dan sayur yang sudah dihangatkan karena mengandung gula yang tinggi. Namun, Mami selalu abai. Hal inilah yang membuat gula darah Mami nggak pernah di bawah 200 mmhg.

“Tunggu Kalova pulang sekolah ya, Mam. Nanti kita check up.”

“Memang uangnya ada?” tanya Mami dengan suara pelan dan penuh keraguan.

“Kan, Kalova udah bilang. Urusan biaya biar jadi urusan Kalova. Mami nggak usah khawatir,” jawabku seolah penuh keyakinan.

Padahal, aku sendiri masih bingung. Aku nggak mungkin menjual kaktus gymno red rubby-ku kepada Si pecinta bunga, Bu Sofia. Meskipun ditawar mahal sekalipun. Sudah berkali-kali Bu Sofia datang ke rumahku, namun pikiranku tetap nggak berubah. Jalan satu-satunya adalah menghubungi Tante Devina.

Tidak ada kerabat yang benar-benar peduli dengan kami setelah Papi meninggal, kecuali Tante Devina. Mereka bahkan, tidak akan menyapa kami sekalipun berpapasan di jalan. Untuk hal ini, aku setuju dengan kalimat, “kalo lagi susah, jangankan saudara atau temen. Setan aja pura-pura nggak kenal.” Yeah, that's true.

_____________________________________________

Fyi
Gymnocalycium atau biasa disebut dengan chin kaktus adalah genus dari sekitar 70 spesies kaktus di Amerika Selatan. Nama genus Gymnocalycium mengacu kepada kuncup bunga tanpa rambut atau duri. Kaktus gymno red rubby lokal memiliki warna merah menyala. Bentuknya unik sehingga memiliki daya tarik tersendiri.


Yeay! Akhirnya hari ini bisa update juga setelah kemarin bolong satu kali hihii

Nggak papa. Yang penting tetap optimis kelar.

Btw, kamu suka kaktus jenis apa, Guys?
Jawab di kolom komentar, yaaah. Jangan lupa vote biar aku makin semangat lagi nulisnya.

With love,
Bella Windy

Kalova & SadewaWhere stories live. Discover now